DAYA TAHAN MENTAL PASIEN KANKER DENGAN PENGOBATAN KEMOTERAPI

Pendahuluan
Perjalanan pasien yang menderita kanker dapat dibagi menjadi empat tahapan. Tahap pertama adalah diagnosis dan pengobatan awal. Tahap kedua adalah tindak lanjut setelah pengobatan pertama kanker. Tahap ketiga adalah tahap kekambuhan dan pengobatan ulang. Tahap keempat adalah tahap terminal. Pasien dapat berhenti pada tahap kedua atau terus berlanjut sampai tahap keempat (Straker, 1998).
Kemoterapi adalah salah satu pengobatan bagi penderita kanker selain bedah, terapi radiasi, terapi hormon dan pengobatan lainnya. Efek kemoterapi pada pasien dapat mempengaruhi secara biologis atau fisik, psikologis dan sosial (Carroll, Mustian, Morrow, Moseley, Pierre, William, 2008).
Suatu penelitian meta-analisis di Amerika menyatakan bahwa sekitar 50% pasien dengan kanker stadium lanjut memenuhi kriteria untuk gangguan psikiatri, yang paling umum adalah gangguan penyesuaian (11-35%) dan depresi berat (5-26%) (Miovic & Block, 2007). Fungsi mekanisme pertahanan ego yang adaptif mampu mengurangi munculnya gejala depresi dan memperpanjang usia harapan hidup pasien kanker (Beresford, Alfers, Mangum, Clapp, Martin, 2006).
Daya tahan mental pasien mempengaruhi baik biologis atau fisik, psikiologis dan sosial. Daya tahan mental pasien dipengaruhi ciri kepribadian, psikobiografi, dan lingkungan sosial. Faktor tambahan lain yang juga berpengaruh adalah pengobatan yang diberikan, kepercayaan setempat berkenaan dengan kanker dan jenis dari kanker. Daya tahan mental yang baik akan memberikan tindakan aktif dimana pasien menerima diagnosis, mempertahankan sikap optimis, dan mau berpartisipasi dalam keputusan medis serta berjuang melawan penyakitnya (Diez. Forjaz, Landivar, 2005).

Tahapan Perjalanan Pasien Kanker
Tahapan diagnosis dan pengobatan awal biasanya ditanggapi dengan keterkejutan oleh pasien. Syok, tidak percaya, cemas, depresi, perasaan bersalah, dan kepahitan biasanya bercampur dengan harapan bahwa pengobatan awal akan berhasil (Straker, 1998).
Tahapan tindak lanjut setelah pengobatan pertama kanker (pembedahan, kemoterapi, dan/atau radioterapi) biasanya ditanggapi dengan emosi yang bercampur. Pasien telah menjalani pengobatan yang tidak nyaman dan efek sampingnya harus menghadapi masa depan dengan keadaan kesehatan yang tidak pasti (Straker, 1998).
Kekambuhan dan pengobatan ulang, cenderung mengulangi fase diagnosis dan pengobatan awal, diikuti dengan beberapa perubahan besar. Kekambuhan menyebabkan pasien kehilangan harapan untuk sembuh. Pasien dapat menyalahkan dirinya atau dokter untuk apa yang dipandang sebagai kegagalan. Kemarahan, depresi, kecemasan, dan kehilangan kepercayaan lebih menonjol. Pengobatan alternatif lebih banyak dilakukan. Kepatuhan terhadap saran medis lebih rendah dari sebelumnya. Muncul masalah dalam hubungan dengan pasien, biasanya kekerasan oleh pasien (Straker, 1998).
Tahapan terminal adalah yang paling sulit, khususnya bagi tenaga medis. Teknik pencegahan dapat mengurangi nyeri, cemas, depresi, insomnia, dan perasaan tidak nyaman lainnya. Biasanya konsultasi kejiwaan dilakukan pada fase ini (Straker, 1998).
Efek Kemoterapi Pada Pasien Kanker
Efek kemoterapi pada pasien kanker sangat beragam tergantung kepada obat yang diberikan. Obat alkilating dapat menimbulkan lelah, mual, rambut rontok, iritasi kulit, baal pada jari-jari tangan atau kaki. Antimetabolit dapat menimbulkan mual, muntah, diare, sembelit, rambut rontoh, iritasi selaput lendir, sariawan, kulit menghitam, bengkak, lelah, demam, nyeri kepala. Obat hormonal dapat menimbulkan mual, muntah, diare, konstipasi, payudara membesar, panas pada wajah, penurunan nafsu seks, pusing, kulit merah, gangguan penglihatan, nyeri otot dan sendi, bengkak, peningkatan berat badan, tekanan darah tinggi. Zat target molekuler dapat menimbulkan iritasi kulit, baal, bengkak, diare, mual, bercak-bercak jerawat, nyeri sendi, demam, perdarahan, alergi, tekanan darah rendah. Modifikasi respon biologi dapat menimbulkan mual, berdebar-debar, bercak-bercak kemerahan, iritasi mukosa, kehilangan selera makan, rambut rontok, gejala seperti flu, baal, lemas, tekanan darah rendah, penurunan berat badan (Carroll, Mustian, Morrow, Moseley, Pierre, William, 2008)..
Ciri Psikologis Pasien Kanker
Penyesuaian atau adaptasi terhadap penyakit kanker adalah proses berkelanjutan di mana individu pasien berusaha mengatasi penderitaan emosionalnya, menyelesaikan masalah khusus terkait penyakitnya, dan berusaha mengendalikan situasi kehidupannya yang dipengaruhi penyakitnya (Diez, Forjaz, Landivar, 2005).
Pasien yang menderita sakit mempunyai beberapa ciri psikologis yaitu kecemasan, kehilangan penguasaan diri, kehilangan harapan, kehilangan integritas tubuh, ketidakberdayaan, depresi, ketergantungan, ketakutan akan pengabaian, ketakutan akan kematian, kehilangan identitas diri dan arti khusus dari penyakit itu sendiri bagi pasien (Sollner, 2006).
Menurut Kubler-Ross, pasien akan memberikan respon secara bertahap setelah tahu bahwa dirinya menderita penyakit yang membawa kepada kematian. Pertama adalah pengingkaran yaitu pasien tidak mau percaya bahwa dirinya akan meninggal. Kedua adalah marah yaitu pasien marah kepada Tuhan atau kepada Sang Nasib. Ketiga adalah tawar-menawar yaitu pasien mencoba menegosiasikan sebuah alternatif dengan Tuhan atau dengan Sang Nasib. Keempat adalah depresi yaitu pasien menjadi depresi. Kelima adalah menerima yaitu pasien menerima kematiannya (Sunberg, Winebarger, Taplin, 2007).
Daya Tahan Mental Pasien Kanker
Adaptasi terhadap kanker dapat sangat sulit bagi pasien selama beberapa bulan pertama dan saat kondisi mereka memburuk, kemampuan mereka untuk menyesuaikan diri dengan penyakitnya tampak semakin meningkat sesuai waktu perbaikan dan setelah sembuh. Adaptasi terhadap kanker tergantung pada banyak aspek dari penyakit dan situasi psikologis seperti penyesuaian emosi, prestasi penderita kanker, umur, dan kondisi fisik. Seseorang yang dengan usia pertengahan atau kecacatan fisik tampak beradaptasi lebih buruk dibandingkan dengan yang berusia lanjut atau kecacatannya kurang (Singh & Verma, 2007).

Daya tahan mental pasien kanker dalam menghadapi penyakitnya merupakan suatu proses. Terdiri dari dua proses yaitu proses penelaahan dan koping. Penelaahan berkaitan dengan penilaian individu terhadap makna pribadi dari kejadian dan penyesuain sumber daya individu untuk menghadapinya. Proses penelaahan didasarkan pada pemikiran bahwa individu secara terus menerus menilai hubungannya dengan lingkungan. Penelaahan suatu kejadian tertentu mempengaruhi emosi dan koping selanjutnya. Koping berkaitan dengan pikiran dan perilaku tertentu yang digunakan seseorang dalam usahanya untuk beradaptasi. Pasien dapat melakukan tiga strategi koping utama yaitu strategi yang berfokus pada emosi, strategi yang berfokus pada masalah, dan strategi yang berfokus pada makna (Diez, Forjaz, Landivar, 2005).
Stres dimulai saat seseorang menyadari bahwa menderita kanker adalah suatu kenyataan, dan telah berlangsung. Pada saat ini, seseorang seseorang menjadi awas terhadap perubahan, atau ancaman perubahan, tujuan dan perhatiannya terpusat pada saat ini. Penelaahan pada keadaan atau kemungkinan perubahan yang disebabkan karena kanker meliputi penilaian kemaknaan diri (maknanya sebagai menyakitkan atau benar-benar suatu bencana, suatu yang nyata atau hanya kemungkinan, atau mengubah kemaknaan dirinya), ini disebut “penelaahan primer” dan evaluasi pilihan koping disebut “penelaahan sekunder”. Penelaahan primer dipengaruhi oleh kepercayaan dan nilai pribadi. Penelaahan sekunder berkaitan dengan tingkat sejauh mana seseorang dapat memegang kendali atau mengubah situasi berkaitan dengan kanker (Diez, Forjaz, Landivar, 2005).
Koping adalah proses menggunakan strategi emosi, kognitif, dan/atau perilaku untuk menangani stres dengan tujuan untuk mengurangi dampak yang berpotensi menyakitkan dalam penyesuaian psikologis. Strategi dapat bermacam-macam tergantung kepada stresor yang menyebabkan. Strategi koping dibagi dalam dua kategori besar, koping yang sesuai dan tidak sesuai. Strategi koping yang sesuai adalah yang mengubah emosi atau pikiran seseorang tentang stresor yang melibatkan usaha perilaku untuk mengurangi stresor. Ini meliputi koping aktif (seperti usaha untuk mencari pemecahan masalah), membingkai ulang secara positif (seperti, melihat masalah dengan cara yang positif), menerima, mencari dukungan, dan mempunyai semangat juang. Strategi seperti ini berkaitan dengan hasil positif seperti kulitas hidup yang lebih baik, berkurangnya distres psikologis, dan hidup yang lebih bermakna. Strategi koping yang tidak sesuai, sebaliknya, meliputi emosi, pikiran, atau perilaku yang berusaha mengurangi dampak dari stresor melalui penghindaran atau lari. Ini meliputi menjaga jarak atau pengingkaran emosi, pikiran, atau perilaku. Strategi koping yang tidak sesuai berkaitan dengan kualitas hidup yang buruk dan distres psikologis yang lebih berat (Yang, Brothers, Andersen, 2008).
Beberapa model dalam hubungan antara koping dan perjalanan penyakit kanker dapat disusun menjadi suatu konsep. Perjalanan penyakit dapat mempunyai beberapa pengaruh pada koping, baik secara langsung melalui hormone paraneoplastik yang secara aktif mempengaruhi psikologis atau lebih melalui cara tidak langsung melalui reaksi emosi dari pasien terhadap gejala fisik. Kerusakan fisik kadang lebih baik dicerminkan oleh variabel psikologis, dimana lebih mendekati pengalaman pasien dibandingkan tahapan klasifikasi biomedis yang kasar. Sehingga, beberapa penelitian menunjukkan kualitas hidup sebagai prediktor bebas dari usia hidup dengan kanker (Faller, lzebruck, Drings, Lang, 1999).
Koping dapat mempengaruhi perjalan penyakit, baik secara langsung melalui mekanisme psikoneuroimmunologi (contoh, koping yang baik dapat meningkatkan dan koping depresif dapat menurunkan akitivitas sel natural killer), atau dengan cara tidak langsung melalui kepatuhan, seperti pasien dengan koping yang baik dapat menerima jumlah kemoterapi yang lebih besar dibandingkan dengan depresi yang dapat menghentikan terapi lebih dini (Faller, lzebruck, Drings, Lang, 1999).
Kesimpulan
Daya tahan mental yang kurang dapat menyebabkan pasien jatuh ke dalam beberapa keadaaan. Pasien yang menghindar menunjukkan pasien menolak diagnosis kanker, sering berupa meringankan keseriusan diagnosis dan menghindari memikirkannya. Pasien yang menerima dengan kekalahan menerima diagnosis dengan perilaku yang membahayakan. Dalam keadaan cemas antisipatorik, pasien sering mencari penjaminan dan sering memandang keluhan fisiknya sebagai penyakit yang semakin memburuk. Pasien yang kehilangan harapan digambarkan oleh pasien yang berperilaku pesimis (Diez, Forjaz, Landivar, 2005).

Daftar Pustaka

Beresford Thomas P., M.D., Alfers Julie, B.A. Mangum Laura, M.S.W., Clapp Lori, R.N., M.S. Martin Brandon, B.A. Cancer Survival Probability as a Function of Ego Defense (Adaptive) Mechanisms Versus Depressive Symptoms. psychosomatics 47:3, may-june 2006.

Carroll J K, Colmar D , Moseley F, Morrow G R, Mustian K M, Pierre P J, dan Williams G C. Oncologist: Integrative Nonpharmacologic Behavioral Interventions for the Management of Cancer-Related Fatigue. 2007

Diez Barroilhet, Forjaz MJ, Landivar Garrido. Concepts, theories and psychosocial factors in cancer adaptation. Astas Esp Psiquiatr 200533(6):390-397.

Faller Hermann, MD, PhD; lzebruck Heinrich Bu¨, PhD; Drings Peter, MD; Hermann Lang, MD, PhD. Coping, Distress, and Survival Among Patients With Lung Cancer. Arch Gen Psychiatry. 1999;56:756-762.

Miovic Michael, MD; Block Susan, MD. Psychiatric Disorders in Advanced Cancer. CANCER October 15, 2007 / Volume 110 / Number 8.

Singh Umed and Verma Nidhi. Psychopathology among Female Breast Cancer Patients. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology, January 2007, Vol. 33, No.1, 61-71.

Söllner W, “Psychotherapy is the basic treatment“ Dept. of Psychosomatic Medicine and Psychotherapy General Hospital Nuremberg, EACLPP. 2006.

Straker Norman. Journal of psychotherapy practice and research: Psychodynamic psychotherapy for cancer patients. American psychiatric press, inc. 1998.

Sundenberg ND, Winebarger A A, Taplin J R, Psikologi Klinis: Perkembangan Teori, Praktek, dan Penelitian, Edisi Keempat, Jakarta: Pustaka Pelajar. 2007

Yang Hae-Chung, Ph.D. & Brothers Brittany M., M.A. & Andersen Barbara L, Ph.D. Stress and Quality of Life in Breast Cancer Recurrence: Moderation or Mediation of Coping? ann. behav. med. (2008) 35:188–197.



Demikian informasi dari saya mengenai DAYA TAHAN MENTAL PASIEN KANKER DENGAN PENGOBATAN KEMOTERAPI
Semoga bermanfaat bagi anda...
Mohon maaf jika ada salah atau kekurangan
Kritik dan saran saya harapkan dari anda sekalian.

CLP Terapi dan Komunikasi

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada zaman kedokteran modern sekarang ini penanganan masalah kesehatan dilakukan secara komprehensif dengan pendekatan model biopsikososial yang sudah disebutkan dalam pendekatan menyeluruh, tanpa melupakan aspek pengetahuan medis sebagai hal yang sentral. Oleh sebab itu, Consultation-Liaison Psychiatry sebagai bagian dari Ilmu Psikiatri khususnya dan Ilmu Kedokteran umumnya, tetap harus berorientasi pada pengetahuan klinis sebagai dokter serta harus mengikuti perkembangan dan kemajuan ilmu kedokteran (Wibisono, 1991).
George Engel telah membawa perubahan pada pandangan klasik di mana penyakit hanya ditinjau dari konsep biomedik dan mengabaikan kontribusi faktor-faktor sosial dan psikodinamik ke suatu model biopsikososial. Model biopsikososial memandang suatu penyakit selain dari aspek biomedik juga memperhitungkan pengaruh sosial (eksternal) dan faktor psikodinamik (internal) terhadap suatu penyakit. Sistem biologis menekankan pada substrat anatomik, struktural, dan molekular dari penyakit serta efeknya pada fungsi biologis pasien. Sistem psikologis menekankan efek faktor psikodinamik, motivasi, dan kepribadian pada pengalaman sakit serta reaksi terhadap penyakit. Sedangkan sistem sosial menekankan pengaruh kultural, agama, lingkungan, dan keluarga terhadap penyakit.
Dengan demikian, model biopsikososial merupakan suatu sistem pendekatan terintegrasi yang mendorong pemahaman menyeluruh mengenai penyakit. Pendekatan ini dapat kita lihat pada Consultation-Liaison Psychiatry (CLP), suatu perkembangan lebih lanjut dari psikiatri klinik yang merupakan subspesialisasi dalam psikiatri yang menginkorporasikan pelayanan klinis, pengajaran, dan penelitian pada perbatasan antara psikiatri dengan kedokteran (Abidin, 1992; Wibisono, 1991; Rundell, 1996; Strain, 1996).
Penerimaan Consultation-liaison Psychiatry (CLP) sebagai bagian penting dari pendidikan psikiatri semakin meningkat. The American Council on Graduate Medical Education mensyaratkan agar semua residen psikiatri mendapatkan pelajaran klinis CLP (Rundell and Wise, 1994). Pada tahun 2002, American Board of Psychiatry and Neurology, American Psychiatric Association, Residency Review Committee of Accreditation Committee for Graduate Medical Education, dan The Academy of Psychosomatic Medicine mengajukan CLP sebagai subspesialis dari Psikiatri kepada American Board of Medical Specialties. Pada tahun 2003, CLP secara resmi menjadi subspesialis Psikiatri di Amerika. Di tingkat internasional, telah dibentuk organisasi CLP yaitu International Organization for Consultation-Liaison Psychiatry pada tahun 1999 dan pada tahun 2000 berdiri European Association for Consultation-Liaison Psychiatry and Psychosomatics (Gitlin, Levenson, dan Lyketsos, 2004).
Case finding atau skrining merupakan langkah awal dalam proses liaison psikiatri. Para dokter perlu pelatihan dan pendidikan praktis dalam diagnosis dan pengobatan klinis gangguan jiwa, terutama dalam lingkungan medis dan bedah. Edukasi dokter non psikiater dan tenaga kesehatan yang berkaitan mengenai masalah medis dan psikiatri yang berhubungan dengan penyakit pasien merupakan hal penting dalam proses case finding (Spitzer et al, 1994).
Terapi dalam CLP dapat disimpulkan sebagai integrasi dalam pengobatan dimana pasien sebagai pusat dalam manajemen penyakit mengunakan kolaborasi antar profesional dengan memperhatikan kompleksitas pasien secara sistem organik dan elemen psikososial dan kompleksitas jumlah disiplin ilmu dan tipe pengobatan yang terlibat. Kolaborasi antar profesional meliputi kolaborasi antar lembaga, kolaborasi antar tim kerja dari berbagai disiplin ilmu, tim kerja dari sesama disiplin ilmu (Smith G, 2006).
Hal yang tak kalah pentingnya dalam CLP adalah masalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan pemeriksaan medis/bedah dan komorbiditasnya, intervensi kepada pasien sehingga mendapat penjelasan tentang kondisinya dan cara komunikasi yang baik kepada pasien, keluarga, teman sejawat dalam tim. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang luas guna melaksanakan pelayanan kesehatan secara holistic dengan mengutamankan kualitas hidup pasien.

B. MAKSUD DAN TUJUAN
1. Umum :
Untuk memberikan pengetahuan tentang peranan Consultation Liaison Psychiatry sebagai salah satu pendekatan biopsikososial dalam penatalaksanaan dan manajemen pelayanan kesehatan dengan tujuan peningkatan kualitas hidup dan keefektifan terapi kepada pasien.

2. Khusus :
a. Teori :
Untuk mengetahui penerapan Consultation Liaison Psychiatry dibidang kedokteran antara bidang medis lain / bedah dan psikiatri.

b. Teknis :
1) Untuk menyiapkan diri dan memotivasi mempelajari Consultation Liaison Psychiatry bagi bagian psikiatri dan kesiapan bagian medis lain / bedah.
2) Dapat mempraktekkan consultaion liaison dalam praktek kedokteran yang mengutamakan kualitas hidup pasien sesuai bidang spesialisasi kedokteran medis / bedah dengan psikiatri.

C. RUANG LINGKUP
Dalam penulisan makalah ini akan dibahas dengan singkat Consultation Liaison Psychiatry yang meliputi :
1. Pengertian dan Definisi,
2. Sejarah
3. Manajemen Umum
4. Pendekatan Case Finding
5. Diagnosis
6. Intervensi
7. Pengobatan
8. Komunikasi



BAB II
CONSULTATION LIAISON PSYCHIATRY

A. PENGERTIAN DAN DEFINISI
Definisi dari CLP berkembang seturut dengan berkembangnya CLP itu sendiri. Walaupun istilah liaison psychiatry pertama kali muncul dalam literatur psikiatri pada tahun 1939 yang ditulis Billings dengan judul “Liaison Psychiatry and Intern Instruction”, permulaan pengorganisasian CLP telah ada sejak akhir 1920. Henry, dalam artikelnya pada tahun 1929, ”Some Modern Aspects of Psychiatry in General Hospital Practice”, menjelaskan kebutuhan untuk konsultasi psikiatri pada pasien umum dan bedah di Cornell University Medical College (Pasnau, 1982).
Selanjutnya akan dibahas beberapa definisi CLP mulai dari tahun yang paling awal. Sedangkan definisi CLP yang telah muncul dan banyak penganut yang mengikuti antara lain sebagai berikut :
1. Definisi menurut Strain JJ. Grossman (1975).
Sebagai kebalikan dari metode konsultasi yang sudah rutin, CLP mencari peningkatan kualitas dari perawatan psikologis untuk penyakit medis dengan antisipasi dan pencegahan berkembangnya gejala psikologis (pencegahan primer); dengan mengobati gejala setelah berkembang (pencegahan sekunder); dan dengan rehabilitasi pasien dengan gejala menetap, dengan tujuan untuk mencegah kekambuhan (pencegahan tersier). Di samping itu, CLP berbeda dari psikiater konsultan, psikiater liaison ikut serta dalam menemukan kasus dari pada menunggu rujukan, mengklarifikasi status antara perawat dan pasien dan memberikan program pendidikan berkelanjutan yang meningkatkan fungsi yang lebih mandiri dari tenaga pengobatan, pembedahan, dan perawatan dengan harapan dapat menangani kebutuhan psikologis pasien mereka.

2. Definisi menurut Robert O. Pasnau (1982).
CLP adalah hal-hal yang berkaitan dengan penelitian, diagnosis, terapi, dan pencegahan dari gangguan psikiatri pada penyakit fisik, faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi fisik, dan hubungan timbal balik antara somatopsikis dan psikosomatis. Cakupannya meliputi konsultasi psikiatrik dengan pasien serta kerjasama dengan dokter nonpsikiater dan tenaga kesehatan lainnya pada semua tipe dari pelayanan medis. Psychiatric consultation merujuk pada diagnosis dan evaluasi psikiatri pada pasien dan keluarganya; psychiatric liaison merujuk pada aktivitas pendidikan yang diberikan oleh psikiater pada tim medis mengenai masalah yang berhubungan dengan aspek psikiatri dari penyakit.
CLP mempunyai dua tujuan utama berkaitan dengan sistem pelayanan dan pemeliharaan kesehatan. Pertama, CLP menggunakan model kerjasama dan pendidikan untuk mencoba menggabungkan pendekatan psikosomatis pada pasien, konsultasi psikiatri yang menyeluruh, saran terapi dan tatalaksana yang berdasarkan penelitian psikosomatis, pertimbangan perilaku dan seluruh aspek, dan bila sesuai, psikoterapi yang berorientasi tilikan diri. Dalam pelaksanaannya, CLP mencoba untuk mengajarkan bagian dari kedokteran yang ada dalam pengetahuan psikiatri dan bioperilaku. Kedua, CLP mencoba untuk mengajarkan pada bidang psikiatri apa yang terjadi pada bidang kedokteran.
CLP didasarkan pada enam prinsip utama:
a. Hubungan kerja yang erat antara psikiater dan dokter umum. Pada beberapa kasus, hubungan ini menjadi lebih penting dari pada permintaan konsultasi tertulis dan bentuk dasar dari laporan pribadi antara dokter selama proses konsultasi.
b. Keterlibatan psikiater sejak awal perjalanan terapi pasien, bahkan sebelum ada gejala psikiatri yang berkembang. Pada beberapa kasus, psikiater dapat dapat terlibat dalam penyaringan pasien yang akan mendapat pembedahan terencana. Sebagai contoh adalah evaluasi pasien pada transplantasi ginjal, hemodialisis, operasi jantung, operasi panggul untuk nyeri panggul, dan operasi tulang belakang untuk nyeri punggung.
c. Keterlibatan dalam seluruh tim medis pada terapi pasien. Dengan adanya kegiatan seperti konferensi psikososial, pertemuan tenaga perawatan, dan penyuluhan, CLP dapat terlibat dalam seluruh kegiatan evaluasi informal dari setiap pasien dan terapi pada pasien yang sesuai. Melalui kerjasama yang erat dengan tenaga kesehatan sosial dan keperawatan, psikiater dapat memperluas perannya termasuk pengawasan terhadap orang yang terlibat dalam perjalanan diagnosis dan perawatan dari pasien dan keluarganya.
d. Komitmen untuk mengikuti perjalanan dari pasien dan keluarganya. Konsultasi yang sederhana tidak cukup. Setelah saran untuk terapi diberikan, CLP harus mengikuti seluruh perjalanan di rumah sakit, bahkan setelah pemutusan hubungan dilakukan.
e. Pemahaman terhadap konflik utama intrapsikis dan intrakeluarga. Hubungan psikoterapi antara pasien dan psikiater dapat mempertimbangkan keuntungan bagi pasien dan keluarga. Schwab dan Kuhn dan Wahl telah membahas kurangnya perhatian yang diberikan pada psikoterapi pendek, intensif, berorientasi tilikan diri bagi pasien yang berada di rumah sakit.
f. Perhatian terhadap fungsi dari “medical ombudsman.” Psikiater liaison dapat menolong penerimaan terhadap teknologi dan badan pelayanan kesehatan mutakhir dan sering menolong pasien dari lingkungan yang asing dan terisolasi.

3. Definisi menurut Zbigniew J. Lipowski (1996).
CLP adalah subspesialis dari psikiatri yang menggabungkan pelayanan klinik, pengajaran, dan penelitian pada bidang psikiatri dan medis. Pelayanan klinik meliputi ketentuan konsultasi psikiatri kepada dokter nonpsikiatri, seperti hubungan profesional informal yang bertujuan meningkatkan kepedulian mereka terhadap masalah psikososial dan psikiatris pasien yang mereka rawat. Istilah liason merujuk pada hubungan seperti ini. Fungsi kedua dari CLP memberikan pelajaran aspek psikiatri dan psikososial dari perawatan medis kepada mahasiswa kedokteran , residen, dan lanjutannya. Akhirnya, penelitian dalam konteks CLP termasuk masalah reaksi psikososial terhadap penyakit dan kecelakaan fisik, komplikasi psikiatrik dari penyakit, perilaku sakit yang abnormal, gangguan somatoform dan golongannya, prevalensi dari gangguan psikiatri dalam pelayanan medis, dan penilaian efektifitas dari kegiatan klinis dan belajar mengajar dari CLP.
Definisi diatas menggaris bawahi lingkup CLP dalam istilah fungsinya, wilayah kerja, populasi pasien, dan kegiatan pendidikan serta penelitian. Sebab CLP adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kedokteran psikosomatis, yang definisinya juga sangat penting. Kedokteran psikosomatis adalah ilmu yang berkaitan dengan 1) penelitian tentang hubungan fenomena psikologis dan sosial dengan fungsi fisiologis -normal atau patologis- dan peran dari faktor biologis dan psikososial dalam perkembangan, perjalanan, dan hasil akhir dari semua penyakit; dan 2) masalah hukum dari pendekatan biopsikososial pada perawatan pasien.

4. Definisi menurut James JS (2000).
Consultation-Liaison Psychiatry (CLP) merupakan subspesialis dari psikiatri yang berperan sebagai penghubung yang memungkinkan kerja sama antara psikiater dengan spesialis medis lain, yang mana psikiater C-L berperan sebagai penyalur keahlian psikiatri dalam lingkungan medis yaitu mempertahankan psikiatri sebagai disiplin ilmu untuk membantu komorbiditas psikologik, psikiatrik, dan psikofisiologik dalam lingkungan medis. Jadi CLP meliputi pelajaran, pelatihan, pengajaran komorbiditas medik (Aksis III) dan Psikiatrik (Aksis I dan II). Psikiater C-L harus mempunyai banyak pengetahuan dalam hal interaksi antara obat psikotropik, medis serta bedah.

5. Definisi menurut Sasanto Wibisono (2001).
Berdasarkan arti istilah CLP itu sendiri :
 Consultation - rujukan klinis untuk pemeriksaan dan saran penanganan.
 Liaison - penghubung.
 Liaison Psychiatry - ilmu yang dikembangkan untuk maksud tersebut.
 Liaison Psychiatrist - psikiater ‘penghubung’ yang melaksanakan tugas liaison psikiatri.
 Consultation-Liaison Psychiatry - istilah atas dasar kebutuhan klinis praktis (digabung).
Menurut pendapat Wibisono, definisi CLP menurut CTP VII: “CLP adalah subspesialisasi cabang ilmu psikiatri yang mempelajari, mempraktekkan dan mengajarkan mengenai ko-morbiditas medik & psikiatri” (Kaplan dan Sadock, 2000) terlalu sempit dan menyesatkan dengan alasan :
a. Cenderung memperkuat dikotomi penyakit medik / psikiatrik.
b. Pengertiannya menjadi sempit, seakan CLP hanya diperlukan bila ada ko-morbiditas dengan adanya gangguan psikiatrik, lebih bersifat konsultatif dan mengarah pada ‘rawat bersama.’
c. Menempatkan psikiatri di ‘luar’ bidang ‘medik’, ini tidak akan membantu dalam mengurangi stigma.
Wibisono berdasarkan modifikasi pendapat Pasnau dan Lipowski kemudian mendefinisikan CLP sebagai “Subspesialisasi cabang ilmu psikiatri yang mendalami aspek psikiatrik dari kondisi medik lain, baik dalam evaluasi, diagnosis, terapi, prevensi, riset maupun pendidikan.” Prinsipnya adalah kerjasama/kolaborasi dengan bidang medik terkait, menuju kepentingan bersama. Tujuan utamanya adalah manfaat optimal bagi pasien. CLP merupakan perkembangan lanjut psikiatri dalam hubungan dengan bidang kedokteran umum / bidang terkait lain, menjembatani ilmu kedokteran medik dengan aspek psiko-sosial / behavioral, dan mengacu pada tujuan akhir terapi yaitu memulihkan kualitas hidup yang baik (bukan sekedar ‘sembuh’ dari gejala/penyakit).
Jadi menurut Wibisono, CLP bukan sekedar konsultasi psikiatrik, tidak dapat di pelajari dalam waktu singkat. Penting memulai dengan pemahaman konsep, persiapan dan pendalaman dari bidang psikiatri. Perlu pemahaman dan kesiapan bidang medik lain serta penggalangan kerjasama.

B. SEJARAH
Tahun 1818, Johann Christian Heinroth pertama kali menggunakan istilah psikosomatis, saat membahas tentang insomnia. Frase “kedokteran psikosomatis” diyakini telah diperkenalkan oleh Felix Deutsch sekitar tahun 1922 (Gitlin, 2004). Perkembangan dari unit rumah sakit umum psikiatri dan kedokteran psikosomatis membawa kepada kebutuhan akan CLP. Pada tahun 1923, unit rumah sakit umum psikiatri akhirnya mulai mewujudkannya. Pada tahun tersebut, tiga unit CLP dibuka pada rumah sakit Henry Ford di Detroit, Michigan (lipowski, 1996).
Ada tiga fase dalam sejarah CLP : 1) fase organisasi, 2) fase pengembangan konsep, dan 3) fase pertumbuhan yang pesat (Lipowski, 1996).

1. Fase organisasi : 1935 – 1960
Hal utama yang terlihat pada fase organisasi meliputi pembentukan pelayanan CLP, pengembangan model operasional, evaluasi dari kegiatan CLP, dan perluasan pendidikan (Lipowski, 1996).
Edward Billings memperkenalkan konsep CLP di University of Colorado, dengan dukungan awal dari Rockefeller Foundation pada tahun 1935, yang mendirikan unit CLP di sana dan tiga unit di rumah sakit universitas lainnya (Gitlin, 2004). Dengan menggunakan model yang sama, pelayanan CLP di rumah sakit Mount Sinai di kota New York didirikan. Model yang sedikit berbeda dari pelayanan CLP didirikan di rumah sakit pendidikan University of Rochester pada tahun 1946. Unit ini disebut kelompok kedokteran liaison (Lipowski, 1996).
Antara tahun 1935-1960, pelayanan CLP didirikan di beberapa rumah sakit pendidikan di Amerika. Pengorganisasian pertama pelayanan ini dilakukan di Kanada tahun 1959. Pada tahun 1960, program CLP diorginisasikan di sebagian besar rumah sakit pendidikan di Amerika, tetapi pelatihan CLP hanya tersedia disedikit pusat pendidikan (Lipowski, 1996).
Dalam kurun waktu 1950 sampai 1960, memperlihatkan penyingkiran psikiatri dari kedokteran umum, CLP menjadi menurun (Pasnau, 1982). Selama 1960, gerakan komunitas kesehatan mental sangat dominan, psikiatri sekali lagi dikeluarkan dari kedokteran. Suasana menjadi tidak mendukung untuk CLP, yang membawanya kepada fase kedua yaitu konsolidasi dan pengembangan konsep (Lipowski, 1996).



2. Fase Pengembangan Konsep : 1960-1975.
Pada tahun 1970, dilakukan keputusan untuk memasukkan kembali psikiatri ke dalam kedokteran, sebagai bagian dari didapatnya keuntungan asuransi kesehatan untuk pasien dengan gangguan psikiatri, dan sebagai bagian dari keputusan National Institute of Mental Health pada tahun 1974 yang mendukung pelatihan CLP. Peristiwa ini menandai pentingnya CLP sebagai bagian dari bidang psikiatri (Pasnau, 1982).
Seturut dengan bertumbuhnya pelayanan CLP, terjadi peningkatan perhatian terhadap metode operasional CLP, khususnya strategi dan prosedur yang digunakan untuk mencapai tujuan spesifik. Proses dan pengaturan dari CLP pada pelayanan medis menjadi fokus utama. Lima model untuk consultation yang diajukan dijabarkan pada Tabel 1-1 (Lipowski, 1996).
Bentuk lain dari fase ini adalah fokus pada masalah spesifik yang ditemukan oleh konsultan diberbagai bidang pelayanan lain, seperti perawatan intensif, onkologi, hemodialisis, rehabilitasi jantung, dan unit pediatrik. Beberapa CLP berkembang dengan minat khusus di dalamnya dan proyek penelitian awal pada masalah psikiatri dan psikososial dilakukan di bidang pelayanan kesehatan (Lipowski, 1996).
Bentuk lain yang penting pada fase perkembangan konseptual ini adalah bertumbuhnya literatur yang berhubungan. Sebelum pertengahan 1960, tidak ada penerbitan buku atau peninjauan menyeluruh pada CLP . Pada fase kedua ini, literatur diperkaya dengan tiga buku (Pasnau 1975; Schwab 1968; Strain dan Grossman 1975) dan dua tinjauan (Lipowski 1967, 1974). Juga jurnal-jurnal di dalam Psychiatry in Medicine yang mulai dipublikasikan pada tahun 1970 (Lipowski, 1996).
Devisi-devisi baru dari CLP berkembang di departemen psikiatri sekolah-sekolah kedokteran dan rumah sakit umum. CLP mulai menggantikan bentuk lama dari kedokteran psikosomatis (Pasnau, 1982). CLP mulai diterima sebagai subspesialis dari psikiatri, yang membutuhkan pelatihan lebih lanjut untuk psikiater.

Tabel 1. Model untuk consultation

1. Patient-oriented consultation meliputi tidak hanya wawancara diagnostik dan penilaian tetapi juga evaluasi psikodinamik dari kepribadian pasien dan reaksi terhadap penyakit.
2. Chrisis-oriented, therapeutic consultation meliputi penilaian segera dari masalah pasien dan tipe koping, diikuti intervensi terapetik yang tepat oleh konsultan; model ini terinspirasi dari teori krisis Lindemann’s.
3. Consultee-oriented consultation memfokuskan pada masalah konsultasi yang diberikan kepada pasien.
4. Situation-oriented consultation berkaitan dengan interaksi antara pasien dan tim klinis.
5. Expand psychiatric consultation melibatkan pasien sebagai sentral figur dalam kelompok operasional yang meliputi pasien, staff klinis, pasien lain, dan keluarga pasien.


3. Fase Pertumbuhan Cepat : 1975-1980.
Pada tahun 1974, Psychiatry Education Branch of National Institute of Mental Health (NIMH) memutuskan untuk mendukung perkembangan dan perluasan dari CLP di Amerika Serikat. Keputusan ini berdasarkan asumsi bahwa pelayanan perawatan kesehatan seharusnya terpusat pada perawatan primer; sudah jelas bahwa masalah psikososial dan psikiatrik adalah aspek penting dari praktek primer. Hal ini berarti bahwa dokter unit perawatan primer harus mendapatkan pelatihan yang cukup untuk secara efektif menangani masalah ini, CLP adalah pelajaran yang paling sesuai. Tahun 1975, NIMH menyediakan jaminan untuk 31 program CLP. Tahun 1979-1980, NIMH mendukung130 program dan memberikan 60 beasiswa. Beasiswa bertujuan memantapkan hubungan di dalam CLP.
Banyak psikiater-psikiater muda mendalami bidang CLP, penelitian meningkat dengan pesat, jumlah literatur serta buku yang diterbitkan bertambah dengan pesat termasuk jurnal yang membahas topik CLP yaitu General Hospital Psychiatry. Kedokteran psikosomatis dan kedokteran perilaku tumbuh selama periode ini, sebagai hasilnya, psychiatry dan kedokteran menjadi lebih dipersatukan (Lipowski, 1996).

4. Fase Setelah Tahun 80-an.
Di Amerika. Pada tahun 1982 prospek CLP menjadi tidak jelas dibandingkan dekade sebelumnya. Tidak hanya karena NIMH menghentikan semua jaminan pelatihan CLP, tetapi muncul berbagai konflik lain di bidang pendidikan, politik, dan pembiayaan. Meskipun CLP telah diterima secara luas oleh berbagai bidang spesialisasi lain, disiplin ilmu ini terlalu lambat memberikan keuntungan melalui aktivitasnya, saat kebutuhan dana kurang mencukupi dalam pelayanan rumah sakit, CLP sering merupakan yang pertama di keluarkan dari anggaran biaya yang dibutuhkan. Masalah politik meliputi pentingnya kedokteran perilaku sebagai bagian yang jelas dari sistem pelayanan kesehatan, perkembangan rumah sakit umum psikiatri, pentingnya kedokteran holistik, persaingan yang timbul antara “consultation model” dan “liaison model.” Akhirnya, kurang jelasnya teori dan konsep berkaitan kedokteran psikosomatik, pendekatan psikosomatik, dan gangguan psikosomatik (Pasnau, 1982).
Menyadari kebutuhan akan penelitian lebih mendalam dalam menghadapi penyakit medis, NIMH melakukan suatu serial Research Development Workshops untuk psikiater dibidang CLP pada tahun 1985. Pada tahun 1991, telah ada 55 kelompok CLP yang terdaftar dalam Academy of Psychosomatic Medicine. Pada tahun 1992, dengan dukungan American Psychiatric Association (APA), Academy of Psychosomatic Medicine mengajukan ke American Board of Psychiatry dan Neurology (APBN) agar CLP dapat berstatus sebagai subspesialis. Pada saat itu APBN memberikan perhatian lebih kepada nama dan cakupan dari subspesialis yang diajukan. Pada tahun 2002, American Board of Psychiatry and Neurology, American Psychiatric Association, Residency Review Committee of Accreditation Committee for Graduate Medical Education, dan The Academy of Psychosomatic Medicine mengajukan CLP sebagai subspesialis dari Psikiatri kepada American Board of Medical Specialties. Pada tahun 2003, CLP secara resmi menjadi subspesialis Psikiatri di Amerika. Di tingkat internasional, telah dibentuk organisasi CLP yaitu International Organization for Consultation-Liaison Psychiatry pada tahun 1999 dan pada tahun 2000 berdiri European Association for Consultation-Liaison Psychiatry and Psychosomatics (Gitlin, Levenson, dan Lyketsos, 2004).
Tabel – tabel berikut ini menyajikan perkembangan CLP yang dibuat oleh Gitlin, Levenson dan Lyketsos pada tahun 2004 berdasarkan buku teks, jurnal yang memfokuskan diri pada CLP dan organisasi yang berkaitan dengan CLP menurut tahun:
Tabel 2. Key Psychosomatic Medicine Texts

Name Authors/Editors Date of Initial Publication

Emotions and Body Change Dunbar 1935
Psychosomatic Medicine Weiss and English 1943
Psychosomatic Medicine Alexander 1950
Organic Psychiatry Lishman 1978
MGH Handbook of GeneralHospital Psychiatry Hackett and Cassem 1978
Handbook of Psycho-oncology Holland, Rowland 1989
Psychiatric Care of the Medically Patient Stoudemire and Fogel 1993
APPI Textbook of Consultation-Liaison Psychiatry Rundell and Wise 1996
MGH Guide to Psychiatry in Primary Care Stern, Herman, and Slavin 1998
Handbook of Psychiatry in Palliative Medicine Chochinov and Breitbart 2000
APPI-APMTextbook ofPsychosomaticMedicine Levenson 2005 (expected)

Tabel 3. Journals Focusing on Psychosomatic Medicine

Journal Name Editor Date of Initial Publication

Psychosomatic Medicine Sheps 1939
Psychosomatics Wise 1953
Psychotherapy and Psychosomatics Fava 1953
Psychophysiology Miller 1954
Journal of Psychosomatic Research Mayou, Shapiro 1956
Advances in Psychosomatic Medicine Wise 1960
International Journal of Psychiatry in Medicine Cohen, Koenig 1970
General Hospital Psychiatry Lipsett 1979
Journal of Psychosomatic Obstetrics and Gynecology Wright 1982
Journal of Psychosocial Oncology Cohen, Christ, Zabora 1983
Stress Medicine Baggaley 1985
Psych-Oncology Holland, Watson 1986

Tabel 4. Psychosomatic Medicine Related Organizations

Organizations FoundingYear

American Psychosomatic Society 1942
World Psychiatric Association – Section ofGeneral Hospital Psychiatry 1950
Academy of Psychosomatic Medicine 1954
International College of Psychosomatic Medicine 1970
North American Society for Psychiatry in OB/GYN 1971
Society for Liaison Psychiatry 1977
American Association for General Hospital Psychiatry 1978
Association for Academic Psychiatry–Consultation-liaison Section 1978
International Psychooncologic Society 1984
American Society for Psychiatry in Oncology/AIDS 1986
Association for Medicine and Psychiatry 1991
International Organization for Consultation-Liaison Psychiatry 1999
European Association for Consultation-Liaison Psychiatry and Psychosomatics 2000


C. GENERAL MANAGEMENT
Harus dibedakan antara pelayanan konsultasi dan pelayanan psikiatri liaison. Pelayanan konsultasi adalah tim penyelamat. Ia menanggapi permintaan dari pelayanan lain untuk pertolongan mengenai diagnosis, terapi, atau menempatkan pasien yang membingungkan. Yang terburuk, pekerjaan konsultasi tidak lebih dari keberanian memasuki wilayah pelayanan lain, biasanya berakhir dengan penulisan catatan dalam lembaran menggaris bawahi rencana tindakan. Tindakan selanjutnya diserahkan kembali kepada pihak yang konsul (Strain, 1996).
Pelayanan liaison membutuhkan kekuatan sumber daya manusia, dana, dan motivasi. Psikiatri liaison dalam posisi berhadapan dengan psikiatri dan kedokteran. Lebih jauh, psikiatri liaison dirancang untuk berhubungan dengan disiplin lainnya (seperti tenaga medis, perawat, pekerja sosial) untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk mengenali, melakukan tindakan, dan atau merujuk pasien yang mempunyai gangguan mental (dan untuk menolong perawat mengatasi hambatan emosi mereka sendiri dalam berhubungan dengan pasien); untuk mempengaruhi sistem perawatan kesehatan; untuk terlibat dalam sistem pendukung pasien; dan untuk mengatur penelitian hubungan timbal balik antara kedokteran dan komorbiditas psikiatri (Strain, 1996).

1. Konsep Manajemen Kerja Psikiatri Liaison
Walaupun konsultasi merupakan dasar dari proses liaison, penekanan selanjutnya lebih kepada membedakan dua model dari tindakan psikiatri. Pendidikan kepercayaan psikiatri liaison dan usaha untuk menyusun perawatan pasien dibandingkan dengan susunan “catch-as-catch-can” dari model konsultasi menegaskan tujuan dari psikiatri liaison (Strain, 1996). Konsep dasar manajemen kerja CL tidak berbeda dengan manajemen umum, sebaliknya lebih meningkatkan kualitas dan spesifisitasnya upaya pelayanan kesehatan dengan tujuan pokok meningkatkan kualitas hidup pasien sehubungan dengan kondisi sebelumnya dengan cara holistic yang sebenarnya. Langkah tersebut dapat diuraikan dengan kegiatan sebagai berikut:
a. Pencegahan primer, sekunder, dan tersier
Dengan menggunakan model Caplan (1964) dari pencegahan yaitu dengan mengantisipasi dan mencegah berkembangnya gejala psikiatri atau psikologi (pencegahan primer), dengan mengobati gejala saat ditemukan (pencegahan sekunder), dan dengan mencegah kekambuhan gejala (pencegahan tersier), CLP meningkatkan kualitas perawatan psikiatri dan kedokteran saat prinsip liaison diterapkan.
Pencegahan primer berusaha untuk mencegah gejala psikiatri sebelum terjadi melalui tindakan dini. Sebagai contoh dari pencegahan primer adalah mengatur wawancara psikiatri pada semua pasien sebelum pembedahan jantung. Tindakan ini dapat mencegah terjadinya delirium.
Pada pencegahan sekunder, dokter menggunakan strategi untuk berusaha mengurangi faktor – biologis, psikologis, dan sosial – yang mencetuskan penyakit; berusaha untuk menekan penyakit; dan menangani gejala akut seperti kecemasan, depresi, dan sifat karakter yang berlebihan yang dapat memperburuk stress dan menghalangi pemulihan. Seperti pernyataan Hackett dan Cassem (1979), psikiatri konsultasi yang utama adalah usaha pencegahan sekunder.
Pada pencegahan tersier, psikiatri liaison berusaha keras untuk menghalangi kekambuhan psikologis yang dapat mengikuti suatu episode akut (sebagai contoh, konflik psikologis yang menghasilkan gangguan mood, kecemasan, dan penghambatan dan fobia tentang kembali bekerja atau melakukan aktivitas seksual meskipun secara psikologis mampu melakukannya). Tindakan tersier psikiatri membantu pasien beradaptasi dengan keterbatasan psikologis mereka, sehingga mengurangi kemungkinan kekambuhan penyakit. Mencegah kekambuhan penyakit sering membutuhkan keahlian follow-up pasien rawat jalan setelah pulang dari RS untuk efektivitas yang maksimal.

b. Deteksi dan Diagnosis.
Deteksi kasus dalam pelayanan kesehatan adalah keahlian yang dimiliki oleh psikiater liaison yang akan sering menjadi keahlian dari psikiater konsultan, yang akan dihubungi oleh rekan sejawat. Psikiater konsultan secara khusus mempunyai kesulitan dalam mendeteksi gangguan psikososial dan dapat menjadi resisten terhadap tindakan psikiatri. Pada kenyataannya, karena psikiatri konsultasi harus tergantung pada rujukan dari rekan yang motivasinya rendah dan informasinya kurang, akhirnya menjadi tindakan pencegahan sekunder.
Psikiater liaison mendidik rekan di masa mendatang untuk mendapatkan dan menganalisa data, yang meningkatkan kewaspadaan, deteksi, diagnosis, dan/atau rujukan morbiditas psikiatri, kontras dengan psikiater konsultan, yang menunggu rekan untuk mencarinya. Gangguan mental yang diakibatkan oleh penyakit medis dan gangguan mental yang disebabkan penggunaan zat adalah contoh model dari gangguan psikofisiologis yang sering muncul, tetapi sering tidak terditeksi, pada pelayanan medis atau bedah.
Jika rekan berpotensi yang berkonsultasi tidak peduli terhadap gangguan fungsi dari pasiennya, mengapa mereka meminta konsultasi? Strategi dan rencana untuk deteksi kasus dan merujuk penting dalam pelayanan medis-bedah dan menjadi dasar dari liaison psikiatri : tindakan penyaringan diagnosis untuk gangguan fungsi kognitif, depresi, kecemasan, dan penyalahgunaan obat untuk saat ini telah tersedia jika struktur diubah dari model konsultasi ke pada sesuatu yang menggabungkan metodologi rujukan.

c. Penilaian dari Penyedia Layanan Kesehatan
Model kerjasama dari liaision psikiatri menggabungkan preposisi bahwa tanggung jawab untuk perawatan psikiatri dari penyakit medis tidak dapat dilimpahkan secara tunggal kepada psikiater. Tanggung jawab menjadi milik bersama dari gabungan para dokter, perawat, dan pekerja sosial, anggota keluarga yang penting, dan lainnya yang memberikan pengaruh psikoligis di bangsal. Fungsi penting dari CLP adalah untuk menilai tingkat stress yang disebabkan pasien terhadap penyedia layanan medis dan anggota keluarga, dan kemampuan dari staff RS dan anggota keluarga untuk beradaptasi terhadapa pasien dan penyakitnya (dan melakukan tindakan terhadap perawatan psikologis), dan di atas semuanya itu, kemampuan dari staff dan keluarga untuk melakukan perawatan psikiatris atau psikologis.
Psikiatri liaison mengembangkan tujuan CLP dengan memasukkan pengajaran kewaspadaan, wawancara, dan pengetahuan tindakan psikiatris sederhana. Tujuan liaison ini berdasarkan kenyataan bahwa sebagian besar dari pasien gangguan mental ada di bagian rawat inap RS, di mana psikiater konsultan tidak selalu ada untuk mengambil alih perawatan kesehatan mental pasien.

d. Memberikan Kewenangan pada Staf Nonpsikiatri
Burns (1983) menjelaskan beberapa kewenangan dari pengetahuan dan keahlian kesehatan yang digunakan sebagai skema untuk mengajar dan mengambil keputusan. Ini mengijinkan pendidik dan penilai untuk menetapkan tujuan bagi program pelatihan mereka atau untuk disiplin khusus: psikiatri, perawatan primer, psikologi, pekerja sosial, perawat klinik, konseling pastoral, rencana pemulangan, masalah hukum pasien, dan bahkan perawat kesehatan desa pada negara berkembang.

e. Pengembangan Pengetahuan Baru
Sampai saat ini, CLP kekurangan baik metoda yang sistematik untuk pengumpulan data klinik dan model yang sesuai untuk memprosesnya. Komputer dengan pemindai optik skema data klinik untuk kebutuhan diagnosis, penilaian pelajaran, analisisa sistem, mengukur pengaruh pembelajaran liaison pada proses konsultasi-rujukan yang tersedia.
Hammer (1985) menggunakan skema pusat data dari Strain (1985), membuat paket perangkat lunak mikrokomputer yang dinamakan MICROCARES, yang membantu pemakainya untuk menulis laporan, mencari literatur, melakukan analisis variabel, dan melakukan fungsi tagihan untuk klinik, administrasi, penelitian, dan pendidiikan (CARES: clinical, administrative, research, and education) pada pelayanan CLP di RS Pusat data klinik dan sistem pengaturan perangkat lunak membantu membandingkan antara bagian liaison dan bukan liaison. Bagian liaison konsultasi lebih seperti mengenali disfungsi kognitif dari pada bagian bukan liaison. Pusat data biopsikososial meningkatkan kepercayaan penelitian yang kompleks dan mutlipel, termasuk keefektifan pembiayaan dan kemampuan mengganti dari tenaga kesehatan mental pada pelayanan kesehatan.

f. Perubahan Struktural Dalam Pelayanan Kesehatan
CLP berusaha untuk memberikan perubahan struktural pada departemen psikiatri dan departemen lainnya melalui RS (sebagai contoh, unit pengobatan psikiatri, klinik nyeri, dan unit penilaian postpartum) yang akan bertahan melalui tantangan yang diberikan.
Konsep CLP klinik memberikan konsultasi berkelanjutan setelah pemulangan dari unit perawatan psikiatri atau medis, dan pasien pemindahan perawatan dari klinik medis atau bedah yang mempunyai disfungsi psikologis. Karena sebagian besar bagian rawat jalan psikiatri di RS sering tidak mampu untuk menerima pasien sakit dengan disfungsi psikologis, pasien rawat jalan di bagian CLP lebih mempunyai harapan yang baik melalui tambahan penting pada perlengkapan psikiatri di RS.
Kejelasan psikiatri sekarang menjadi standard untuk semua pasien over dosis sebelum mereka dipulangkan dari unit perawatan intensif. Langkah logis selanjutnya untuk membuat kejelasan psikiatri diharuskan untuk semua pasien dengan risiko tinggi dan penyulit, seperti pasien dengan rencana pembedahan jantung terbuka, yang menunjukkan masalah diagnosis, yang masih ragu-ragu menjalani pembedahan, dan pasien yang berulangkali mendapat perawatan medis yang tampak mengalami pengabaian atau penyiksaan. Penilaian psikiatri dari pasien ini dan kelompok lain yang telah diidentifikasi harus dihargai sebagai bagian dari penilaian dan penanganan CLP dalam rumah sakit pendidikan modern.

2. Kesiapan dan aplikasi Consultasi Liaison di Indonesia
a. Konsultan Psikiatri

1). Kualitas Efektifitas dan Kompetensi Konsultan Psikiatri.
Pelaksanaan CLP yang baik dimulai dengan penguasaan pengetahuan dan keahlian psikiatri dasar dan kedokteran serta bedah. Pengetahuan dasar dan keahlian tentang tubuh manusia dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan CLP meliputi pengertian tentang patofisiologi, psikoterapi (psikodinamik, kognitif, dan behavioral), managemen adminitstratif dari masalah sistem, ekonomi kedokteran, geriatrik, dan forensik. Beberapa pengetahuan seperti bagaimana komorbiditas psikiatri memberikan variasi dan pengaruh terhadap penyakit yang berbeda, usia, status sosioekonomi, dan faktor lain yang juga penting untuk CLP. Walaupun banyak psikiater melaksanakan konsultasi psikiatri sebagai bagian dari praktek klinis mereka, ada perbedaan keahlian yang sangat besar antara tingkan pendidikan dan pengalaman klinis (sebagai contoh, residen, spesialis, doktor) (Kunkel dan Thompson, 1996).
Secara umum, tujuan dari konsultasi psikiatri dalam pelayanan medis dan bedah adalah :
a) Menjamin keamanan dan stabilitas dari pasien dalam lingkungan medis.
b) Mengumpulkan riwayat dan data medis yang cukup dari sumber yang terpercaya untuk menilai pasien dan merumuskan masalah.
c) Untuk mengatur pemeriksaan status mental dan permeriksaan neurologis dan fisik bila diperlukan.
d) Menetapkan diagnosis banding.
e) Membuat rencana terapi.
Konsultan CLP harus memiliki pengertian klinis yang mendalam tentang gangguan fisik dan neurologis dan hubungannya dengan perilaku sakit yang abnormal. Konsultan CLP harus ahli dalam mendiagnosis, mampu menguraikan bagian dan merumuskan gangguan multiaksial pasien, dan mampu membuat rencana terapi yang efektif. Konsultan CLP juga harus mempunyai pengetahuan intervensi psikoterapi dan psikofarmakologi sebaik pengetahuan tentang seluruh aturan aspek medikolegal dari psikiatri dan peyakit medis dan perawatan rumah sakit. Dokter psikiater, dengan keahlian profesional yang tinggi dan pengetahuan, memiliki kemampuan untuk memimpin tim multidisipiner (Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire, 1998).
Evaluasi dari status mental pasien dengan penyakit medis yang serius, merumuskan masalah dan diagnosis mereka, dan mengatur serta menerapkan rencana terapi yang efektif termasuk keahlian klinis lengkap yang membutuhkan pelatihan khusus (Tabel 2-2). Di samping untuk pemeriksaan psikiatri yang biasa, pengetahuan khusus tentang diagnosis, masalah medikolegal, dan intervensi psikoterapi serta psikofarmakologi sangan penting. Konsultan psikiatri harus terbiasa dengan rutinitas lingkungan medis dan bedah dan mempunyai pengetahuan tentang penyakit medis dan bedah. Konsultan psikiatri juga harus waspada terhadap efek dari penyakit dan obat pada perilaku, khususnya sumbangan dan pengaruhnya pada diagnosis dan terapi. Lebih lanjut, konsultan psikiatri harus mendukung pasien dan lebih sensitif terhadap efek pasien terhadap tenaga medis (Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire, 1998).
Meskipun fakta bahwa semua proses konsultasi psikiatri membutuhkan keahlian untuk mengatur rencana terapi, tim yang tersusun dari profesional kesehatan dengan keahlian yang saling melengkapi dapat juga digunakan. Pemimpin dari tim multidisiplin ini harus psikiater dengan pelatihan khusus CLP (Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire, 1998.
Di Amerika Serikat. Recommended Guidelines for C-L Psychiatric Training in Psychiatry Residency Programs mengkhususkan bahwa fakultas pelayanan C-L akan disertifikasi oleh American Board of Psychiatry and Neurology dan mempunyai keahlian khusus dalam CLP. Pelayanan CLP yang ideal mempunyai fakultas yang memberikan pelatihan berkelanjutan dalam CLP atau mereka yang meningkatkan pengalaman klinik (Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire, 1998).
Tabel 5. Keahlian yang dibutuhkan untuk evaluasi dan terapi dari pasien dengan gangguan psikiatri dalam pelayanan medis umum.
1. Kemampuan untuk membuat riwayat psikiatri dan medis.
2. Kemampuan untuk menemukan dan mengelompokkan gejala.
3. Kemampuan untuk menilai disfungsi neurologis.
4. Kemampuan untuk menilai risiko bunuh diri.
5. Kemampuan untuk menilai efek pengobatan dan interaksi antar obat.
6. Kemampuan untuk mengetahui kapan untuk melakukan dan bagaimana menilai hasil test psikokogis.
7. Kemampuan untuk menilai masalah pribadi dan keluarga.
8. Kemampuan untuk mengenali dan menangani stress di rumah sakit.
9. Kemampuan untuk menempatkan sudut pandang perjalanan rawat inap dan terapi.
10. Kemampuan untuk merumuskan diagnosis multiaksial.
11. Kemampuan untuk melakukan psikoterapi.
12. Kemampuan untuk meresepkan dan menangani zat psikofarmakologi.
13. Kemampuan untuk menilai dan menangani agitasi.
14. Kemampuan untuk menilai dan menangani nyeri.
15. Kemampuan untuk mengatur protokol administrasi detoksikasi obat.
16. Kemampuan untuk membuat pernyataan medikolegal.
17. Kemampuan untuk menerapkan keputusan etis.
18. Kemampuan untuk menerapkan teoris sistem dan memecahkan masalah.
19. Kemampuan untuk mengajukan rujukan ke pelayanan psikiatri.
20. Kemampuan untuk membantu penyusunan rencana.
Sumber : Diadaptasi dari Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire : “The Academy of Psychosomatic Medicine Practice Guidelines fo Psychiatric Consultation in General Medical Setting.” Psychosomatic 39: S8-S30, 1998.
2). Harapan Dari Dokter Lain.
Dokter yang konsul berharap konsultan dapat membantu memastikan diagnosis, menghilangkan gejala, dan membantu tenaga medis dan bedah dalam menangani pasien, terkadang mengambil beberapa atau seluruh tanggung jawab kepada pasien. Prioritas dari pelayanan konsultasi bervariasi di antara pelayanan-pelayanan itu sendiri. Untuk semua dokter, aspek yang paling penting dari /CLP adalah berurusan dengan masalah penempatan pasien (contoh, dipindah kebagian perawatan psikiatri; dipindah ke bagian rawat jalan psikiatri). Tabel 2-3 memaparkan apa yang paling sering diharapkan oleh dokter dari konsultan psikiatrik.

Tabel 6. Apa yang yang paling sering diharapkan dokter dari konsultan psikiatri
Pelayanan Medis
Kunjungan follow-up kepada pasien
Rekomendasi berkaitan dengan penanganan ruang perawatan
Evaluasi dan menolong dokter dan tenaga ruangan untuk mengerti aspek psikososial dari penyakit pasien
Saran pengobatan psikotropik
Pelayanan Bedah
Evaluasi kompetensi
Pengaturan pemindahan ke bagian psikiatri, bila ada indikasi
Saran pengobatan psikotropik
Rekomendasi berkaitan dengan pengaturan ruang pasien
Kunjungan follow-up kepada pasien
Pengaturan perjanjian, bila ada indikasi
Pelayanan Obstetri dan Ginekologi
Evaluasi status mental
Kunjungan follow-up kepada pasien
Saran pengobatan psikotropik
Evaluasi dan menolong dokter dan tenaga ruangan untuk mengerti aspek psikososial dari penyakit pasien
Psikoterapi kepada pasien atau anggota keluarganya

Pelayanan Anak
Kunjungan follow-up kepada pasien
Penilaian psikiatri dan terapi terhadap keluarga dari pasien
Rekomendasi berkaitan dengan pengaturan ruang pasien
Evaluasi terhadap psikogenik dari masalah somatik
Membantu memahami aspek psikososial dari penyakit pasien
Pelayanan Rehabilitasi
Evaluasi status mental
Menolong dokter dan tenaga ruangan mengerti dan berurusan dengan reaksi mereka terhadap kepribadian pasien dan stress yang dipicu oleh perilaku pasien.
Rekomendasi berkaitan pengaturan ruangan
Menolong tenaga ruangan mengerti aspek psikososial dari penyakit pasien
Kunjungan follow-up kepada pasien
Rekomendasi diagnostik tambahan
Sumber : Diadaptasi dari Elisabeth J. Shakin Kunkel, M.D. dan Troy L. Thompson II, M.D. : “The Process of Consultation and Organization of a Consultation-Liaison Psychiatry Service.” Textbook of Consultation-Liaison Psychiatry, American Psychiatric Press, 1996.

b. Pendekatan Dalam Konsultasi
1). Model Pemeriksaan.
Banyak perdebatan tentang cara terbaik untuk melakukan pemeriksaan psikiatri pada pasien medis atau bedah. Sudah jelas bahwa teknik psikoanalitik, seperti asosiasi bebas yang panjang dan sunyi, jarang yang sesuai dengan pasien CLP. Sebagian besar pasien tidak berpengalaman dengan psikiatri atau psikoterapi, banyak masalah psikologis dalam konteks pengalaman pasien dan biasanya tidak membutuhkan konsulan psikiatri, dan beberapa mempunyai gangguan kognitif yang dapat mempengaruhi pendekatan ini. Di sisi lain, menjaga secara mutlak kerahasian dokter-pasien tidak mungkin untuk konsultasi psikiatri karena dokter utama pasien mengaharapkan jawaban terhadap konsultasinya. Proses ini harus dijelaskan kepada pasien (contoh, “saya akan memberikan kesimpulan dari penemuan saya dan merekomendasikannya kepada dokter anda”). Jika pasien ingin mengatakan kepada konsultan suatu “rahasia”, konsultan harus menjelaskan akan membagikan “rahasia” itu dengan dokter yang merawat pasien sehingga dapat meningkatkan pemahaman dokter tersebut terhadap sudut pandang pasien dan memberikan hasil yang aktual terhadap perbaikan perawatan pasien (Kunkel dan Thompson, 1996).
Variasi pertanyaan dengan pertanyaan terbuka dan tertutup berguna untuk mendapatkan data khusus yang dibutuhkan untuk riwayat dan pemeriksaan status mental; data ini kemudian memberikan dasar untuk pengembangan diagnosis dan rencana terapi. Formulasi psikodinamik dibuat dari data yang didapatkan dalam hal ini sering sangat berguna dalam mengerti masalah pasien. Formulasi ini harus diubah kedalam diskripsi yang bebas dari istilah dalam penulisan konsultasi dan diskusi dengan dokter dan tenaga medis yang berkonsultasi. Ini sering membantu untuk meningkatkan pemahaman tim terhadap pasien (Kunkel dan Thompson, 1996).
2). Alat Bantu Keterampilan.
Konsultan psikiatri menggunakan informasi dari yang didapatkan dari pengetahuannya, catatan rumah sakit dan riwayat dahulu, tenaga medis dan bedah, pemeriksaan pasien dan keluarganya, sumber referensi yang beragam. Catatan awal konsultasi menyimpulkan hasil pemeriksaan dari pasien dan peninjauan dari rekam medis. Mahasiswa kedokteran dan residen sering mendapatkan bahwa belajar CLP lebih mudah jika diawali dengan penggunaan format penilaian standard. Pemeriksaan bed-side dapat meliputi menggambar jam atau bentuk lain, Mini-Mental State Exam, Taylor Equivalent Drawing, peralatan neuropsikologis. Biologis, psikoterapi, psikososial, dan intervensi sistem, semuanya digunakan dalam praktek CLP (Kunkel dan Thompson, 1996).
3). Proses Konsultasi.
Proses dari kegiatan CLP sering paralel denga proses yang dilakukan selama perjalanan psikoterapi. Informasi dan pola dari reaksi langsung selama kunjungan follow-up dan pandangan baru yang berkembang yang sering tidak ditemukan pada kunjungan awal. Ini merupakan salah satu alasan bahwa kunjungan follow-up diperintahkan pada semua konsultasi psikiatri yang baik (Kunkel dan Thompson, 1996). CLP dapat membutuhkan banyak waktu sebelum konsultan diterima dan dapat beradaptasi dengan praktisi dari tim medis (Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire, 1998).
Institusi harus mengikuti Recommended Guidelines for Consultation-Liaison Psychiatric Training in Psychiatry Residency Programs untuk pelayanan dan tenaga CLP. Dalam semua pelayanan medis, harus tersedia staff yang ahli untuk memberikan konsultasi psikiatri 24 jam/hari, sepanjang tahun. Dalam pelayanan di mana residen psikiatri memberikan konsultasi, staff fakultas harus dapat memberikan bimbingan 24 jam/hari (Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire, 1998).
Konsultasi psikiatri harus dilakukan oleh psikiater dengan keahlian dalam pelayanan medis dan terpercaya dan legal di dalam institusi di mana konsultasi dilakukan. Terapi dapat didelegasikan kepada profesi kesehatan mental lainnya dibawah pengawasan langsung dari psikiater konsulan. Konsultasi psikiatri meliputi awal konsultasi dan pemeriksaan follow-up (Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire, 1998).
Jika pasien dalam pengobatan psikiatri membutuhkan pengobatan dari bagian lain, untuk menjamin kelangsungan perawatan medis bila memungkinkan diberikan dalam suatu fasilitas yang sama. Dalam pelayanan yang ideal, lokasi antara perawatan medis dan psikiatri manjadi satu (Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire, 1998).
Pada pasien yang dirawat bersama, permintaan pemeriksaan atau test laboratorium dan pengobatan oleh dokter ahli yang merawat harus memastikan tidak terjadi kontra indikasi. Tidak diperkenankan adanya konflik. Sebagian besar psikiater CLP yakin bahwa hal ini menjadi suatu masalah (Kunkel dan Thompson, 1996). Konsultan psikiatri harus mengikuti perjalanan pasien secara menyeluruh sampai meninggalkan rumah sakit. Pertama, penting untuk “sign-of” pada pasien dalam kaitannya dengan masalah transferen atau kontratransferen dan reaksi positif atau negatif untuk penyembuhan permanen dari gejala yang ada. Kedua, pasien yang mempunyai tanda dan gejala psikiatri mempunyai risiko untuk kekambuhan. Akhirnya, follow-up berkelanjutan membantu untuk mempertahankan kepercayaan tim medis atau bedah dan memperkuat bahwa CLP selalu tersedia dan siap membantu dalam situasi klinis apapun (Kunkel dan Thompson, 1996).
c. Struktur Organisasi Dari Pelayanan CLP.
1). Bidang Organisasi Umum.
Direktur program CLP harus mempunyai keahlian admisnistrasi yang diperlukan untuk mengorganisasi pelayanan CLP, dapat dengan cara trial and error atau on-the-job learning. Pada survey di Amerika, 30,5% program pendidikan dokter spesialis psikiatri tidak memberikan pendidikan formal dalam administrasi psikiatri. Psikiater CLP harus mampunyai kemampuan yang baik untuk memodifikasi pelayanan CLP, dapat mengatur penelitian lebih lanjut dan merencanakan unit perawatan khusus bila diperlukan. Sedapat mungkin psikiater CLP harus belajar tentang kebutuhan dan sumber potensial untuk memantapkan pelayanan CLP. Ini termasuk memilih target pelayanan (contoh, populasi pasien rawat inap atau rawat jalan, onkologi, trauma, tranplantasi, obstetri); menyediakan statistik terbaru untuk pelayanan rumah sakit; pertemuan dengan fakultas, mahasiswa, dan staff; menyediakan sumber yang selalu tersedia untuk target lokal. Dengan memfokuskan pada pembiayaan yang paling efektif dan dibutuhkan pada pelayanan, CLP dapat memberikan jaminan pelayanan dengan sumber daya yang ada dan memperluas pelayanan secara lebih umum dan fokus pada area yang dibutuhkan dan menarik (Kunkel dan Thompson, 1996).
Tabel 7. Masalah umum yang membawa kepada permintaan untuk CLP dalam pelayanan Medis/Bedah
1. Reaksi stres akut
2. Agresifitas atau impulsifitas
3. Agitasi
4. AIDS dan infeksi HIV
5. Alkohol dan penyalahgunaan obat (termasuk tahap withdrawal)
6. Kecemasan atau panik
7. Penilaian riwayat psikiatri
8. Luka bakar
9. Perubahan status mental
10. Penyiksaan anak
11. Coping terhadap penyakit
12. Kematian, sekarat, dan penguburan
13. Delirium
14. Demensia
15. Depresi
16. Masalah forensik
17. Gangguan makan
18. ECT
19. Masalah etika
20. Gangguan realitas
21. Masalah keluarga
22. Penyiksaan lansia
23. Hypnosis
24. Malingering
25. Nyeri
26. Penyakit psikiatri pada anak
27. Gangguan kepribadian
28. Posttraumatic stress disorder
29. Perawatan berkaitan dengan kehamilan
30. Perawatan psikiatrik di ICU
31. Manifestasi psikiatrik pada perawatan medis dan penyakit neurologis
32. Faktor psikologis yang menyebabkan penyakit medis
33. Test psikologis dan neuropsikologis
34. Psiko-onkologi
35. Psikofarmakologi dari penyakit medis
36. Psikosis
37. Pemasungan/pengurungan
38. Penyiksaan seksual
39. Gangguan tidur
40. Gangguan somatoform
41. Bunuh diri
42. Penyakit terminala
43. Masalah tranplantasi
Sumber : Diadaptasi dari Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire : “The Academy of Psychosomatic Medicine Practice Guidelines fo Psychiatric Consultation in General Medical Setting.” Psychosomatic 39: S8-S30, 1998.

Tabel 8. Informasi yang dibutuhkan untuk mendirikan atau mengembangkan pelayanan CLP
Lokasi untuk mendirikan pelayanan CLP
Rumah sakit umum dan bedah
Fasilitas dan unit rawat inap pasien yang khusus, seperti:
 Onkologi
 Rehabilitasi
 Nyeri
 Dialisis
 Luka bakar
 Tranplantasi
 AIDS
 Neuropsikiatri
 Obtetri dan ginekologi
 Pediatri
Klinik dan pusat rawat jalan seperti di atas.
Sisi demografis
Sentralisasi atau menyebar
Perawatan di psikiatri dan rumah sakit umum/bedah dalam beberapa tahun terakhir
 Total populasi
 Diagnosis spesifik
Konsultasi pisikiatri dalam beberapa tahun terakhir
 Total populasi
 Diagnosis spesifik
Asal pasien psikiatri rawat inap dan rawat jalan.
Sumber pendapatan dan pembayaran dari lokal, institusi, dan unti
Tenaga dan staff yang tersedia berkaitan dengan disiplin CLP (contoh, pekerja sosial)
Jumlah dari pasien rawat jalan dan rawat inap yang dipindahkan kebagian psikiatri
Sumber : Diadaptasi dari Elisabeth J. Shakin Kunkel, M.D. dan Troy L. Thompson II, M.D. : “The Process of Consultation and Organization of a Consultation-Liaison Psychiatry Service.” Textbook of Consultation-Liaison Psychiatry, American Psychiatric Press, 1996.
3) Praktek Kelompok.
CLP dapat berfungsi sebagai bagian dari kelompok multidisiplin (contoh, pusat nyeri) atau dapat berbagi praktek klinis dengan CLP lainnya. Psikiater CLP harus tidak hanya memberikan konsultasi yang berguna tetapi juga siap untuk memberikan pelayanan penanganan kepada staff yang stress dan memberikan penerangan sebagai juru bicara kepada masyarakat untuk masalah psikiatri yang penting dan berkaitan (Kunkel dan Thompson, 1996).
4) CLP Dengan Spesialis Lain.
Menyediakan konsultasi yang baik kepada dokter lain hanyalah awal dari hubungan konsultasi yang mantap dan padu. Konsultan psikiatri harus dapat mengembangkan keahlian dan pengalaman dalam menyelesaikan masalah dalam pelayanan CLP. Bertujuan untuk memadukan pelayanan psikiatri dan pembelajaran psikiatri dalam pelayanan medis ataupun bedah setiap hari. Ini juga membuktikan kemampuan dan komitmen dari seorang konsulan psikiatri (Kunkel dan Thompson, 1996).





















BAB III
CASE FINDING


A. PENDEKATAN CASE FINDING
Berbeda pada model rujukan medis standar, di mana psikiater konsultan menunggu untuk dipanggil, model liaison adalah berdasar pada strategi deteksi dini untuk mengidentifikasi masalah yang mungkin muncul. Pelayanan liaison diarahkan pada peningkatan sensitivitas staf medis, sehingga mampu menghasilkan deteksi dini dan manajemen yang lebih efektif biaya terhadap pelayanan kepada pasien (Bronheim et al, 1998).
Pelaksanaan Case finding dapat dilakukan dengan cara (1) wawancara tidak terstruktur pada anamnesis medis, pemeriksaan fisik, atau saat kunjungan pasien rawat jalan, (2) wawancara terstruktur, atau (3) kuesioner self-report (Westphal & Freeman, 2000). Banyak instrumen telah dikembangkan untuk menyaring komorbiditas psikatri di lokasi klinis. Sebagian besar adalah kuesioner self-report, yang mencakup gejala depresi dan anxietas, dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi gangguan psikiatri di populasi pasien medis yang besar (Boutin-Foster et al, 2003).
Sedangkan case finding yang melibatkan system manajemen biasanya dihubungkan oleh suatu prosedur operasional pelayanan kesehatan yang mengutamakan kualitas hidup pasien, efektifitas dan pelayanan medic itu sendiri. Banyak pusat pelayanan kesehatan yang mengaplikasikan consultasi liaison ini seperti adanya prosedur tetap; pelayanan psikiatri bagi pasien yang sudah 2 minggu di rawat inap bahkan intervensi kepada primary suppot-nya bila diperlukan; pelayanan psikiatri diberikan bagi pasien rawat jalan yang 3 bulan berobat jalan. Dan suatu standard pelayanan yang dinilai dari manajemen mempunyai potensi dan kerentanan terhadap gangguan psikiatri. Sebagai contoh akan disampaikan pedoman keadaan yang kemungkinan besar memerlukan penanganan psikiatri antara lain dapat dilihat pada table berikut :

Tabel 9. Criteria for Identification of an Emergency by
Consultation-Liaison Psychiatrists

1. Psychiatric antecedents
2. Agitation
3. Suicidal thoughts and attempted suicide
4. Confusional state
5. Other symptoms indicating a serious psychiatric state
(depression, anxiety, state of shock, borderline state, or catatonic state)
6. Substitute treatment (methadone) for a drug-dependent patient
7. Forensic problem
8. Transfer to a psychiatric ward
9. Psychiatric symptoms linked to the perspective of somatic treatment
10. Patient should be seen before the weekend


Table 10. Categories of Psychiatric Differential
Diagnoses in the General Hospital
Psychiatric presentations of medical conditions
Psychiatric complications of medical conditions or treatments
Psychological reactions to medical conditions or treatments
Medical presentations of psychiatric conditions
Medical complications of psychiatric conditions or treatments
Comorbid medical and psychiatric conditions

Source: Adapted from Lipowski 1967


Table 11. Procedural Approach to Psychiatric Consultation

Speak directly with the referring clinician.
Review the current records and pertinent past records.
Review the patient’s medications.
Gather collateral data.
Interview and examine the patient.
Formulate diagnostic and therapeutic strategies.
Write a note.
Speak directly with the referring clinician.
Provide periodic follow-up.



Berikut akan diuraikan juga secara singkat beberapa instrumen yang sering digunakan sebagai skrining :
1. CAGE
CAGE dikembangkan pada tahun 1970 oleh Dr. John A. Ewing. Merupakan kombinasi dari 4 pertanyaan sederhana yang dapat digunakan untuk mendeteksi alkoholisme. Total 2 atau lebih jawaban positif menunjukkan riwayat alkoholisme positif. Instrumen ini agar efektif harus diberikan pada pemeriksaan awal dan selama penilaian ulang periodik pada tiap pasien (Mayfield, 1974).
Tabel 12. CAGE
Pernahkah Anda merasa harus berhenti minum?
Pernahkah orang-orang mengkritik kebiasaan Anda minum?
Pernahkah Anda merasa buruk atau bersalah atas kebiasaan minum?
Pernahkah Anda memiliki kebiasaan minum alkohol di pagi hari sebagai hal pertama untuk menyiagakan Anda?

2. Cornell Psychiatric Screen
Didesain sebagai instrumen skrining singkat yang diberikan oleh non psikiater, Cornell Psychiatric Screen dapat dengan cepat dan reliabel untuk mengidentifikasi pasien rawat inap dengan komorbiditas psikiatri yang memerlukan evaluasi psikiatri. Cornell Psychiatric Screen terdiri dari dua item yang diisi berdasarkan pengamatan pemeriksa, dan 5 item self-report. Cornell Psychiatric Screen juga mampu mendeteksi pasien yang beresiko karena lama tinggal di rumah sakit (Boutin-Foster et al, 2003).
Tabel 13. Kuesioner CAGE AID
Pernahkah Anda merasa harus berhenti minum atau berhenti menggunakan obat?
Pernahkah orang-orang mengkritik kebiasaan minum atau penyalahgunaan obat Anda?
Pernahkah Anda merasa buruk atau bersalah atas kebiasaan minum atau menggunakan obat?
Pernahkah Anda memiliki kebiasaan minum alkohol di pagi hari sebagai hal pertama untuk menyiagakan Anda dan mengawali hari?

3. PRIME-MD (Primary Care Evaluation of Mental Disorder)
PRIME-MD terdiri dari 26 item yang diisi oleh pasien sendiri yang menyaring lima kelompok gangguan psikiatri yang paling sering dijumpai, yakni depresi, anxietas, penyalahgunaan alkohol, somatoform, dan gangguan makan, disertai dengan petunjuk evaluasi dokter sebanyak 12 lembar (Spitzer et al, 1994).
4. Instrumen Self Report
Sebagian besar instrumen dalam skrining adalah self-report. Beberapa contoh skala yang banyak digunakan :
a. Beck Depression Index (BDI)
Adalah instrumen praktis yang telah distandarisasi dan digunakan untuk berbagai subyek. Terdiri dari 21 item, dengan penilaian berkisar dari 0-3.
b. Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9)
PHQ-9 adalah komponen dari PRIME-MD, yakni skala depresi self–report dan terdiri dari 9 kriteria berdasarkan diagnosis depresi pada DSM-IV-TR. PHQ-9 memiliki keuntungan ganda, karena dapat menegakkan diagnosis depresi sekaligus derajat keparahan depresi (Aladjem, 2005).
5. Instrumen case finding gangguan kognitif
Defisit kognitif penting tidak hanya dalam diagnosis gangguan kognitif namun juga dalam evaluasi kemampuan komunikasi pasien dan kemampuannya mematuhi terapi medis. Pasien dengan defisit kognitif kurang mampu memahami, mengingat, dan mengikuti aturan obat. Mereka membutuhkan edukasi dan perawatan follow up yang lebih intensif dibandingkan pasien tanpa gangguan kognitif (Westphal & Freeman, 2000).
Table 14. Detailed Assessment of Cognitive Domains

Cognitive domain Assessment

Level of consciousness and arousal Inspect the patient
Orientation to place and time Ask direct questions about both of these
Registration (recent memory) Have the patient repeat three words immediately
Recall (working memory) Have the patient recall the same three words after performing another task for at least 3 minutes
Remote memory Ask about the patient’s age, date of birth, milestones, or significant life or historical events (e.g., names of presidents, dates of wars)
Attention and concentration Subtract serial 7s (adapt to the patient’s level of education; subtract serial 3s if less educated).
Spell world backward (this may be difficult for non-English speakers). Test digit span forward and backward. Have the patient recite the months of the year (or the days of the week) in reverse order.
Language (Adapt the degree of difficulty to the patient’s educational level)
Comprehension Inspect the patient while he or she answers questions
Ask the patient to point to different objects
Ask yes or no questions
Ask the patient to write a phrase (paragraph)
Naming Show a watch, pen, or less familiar objects, if needed
Fluency Assess the patient’s speech
Have the patient name as many animals as he or she can in 1 minute
Articulation Listen to the patient’s speech
Have the patient repeat a phrase
Reading Have the patient read a sentence (or a longer paragraph if needed)
Executive function Determine if the patient requires constant cueing and prompting
Commands Have the patient follow a three-step command
Construction Have the patient draw interlocked pentagons
Have the patient draw a clock
Motor programming tasks Have the patient perform serial hand sequences
Have the patient perform reciprocal programs of raising fingers
Judgment and reasoning Listen to the patient’s account of his or her history and reason for hospitalization
Assess abstraction (similarities: dog/cat; red/green)
Ask about the patient’s judgment about simple events or problems: “A construction worker fell to the ground from the seventh floor of the building and broke his two legs; he then ran to the nearby hospital to ask for medical help. Do you have any comment on this?”

Instrumen skrining kognitif yang paling banyak digunakan di dunia adalah MMSE (Mini Mental State Examination). MMSE menguji orientasi, memori (registrasi dan recall), atensi, kalkulasi, bahasa (penamaan, pengulangan, kemampuan mengikuti perintah, membaca, dan menulis), dan kemampuan konstruksional. Pengisian MMSE membutuhkan waktu 5 menit, dapat diberikan secara serial untuk memantau perjalanan klinis pasien, dan merupakan uji yang reliable dan valid untuk pasien medis (Wise & Strub, 1996).
Table 15. The Mental Status Examination

Level of consciousness
Alert, drowsy, somnolent, stuporous, comatose; fluctuations suggest delirium
Appearance and behavior
Overall appearance, grooming, hygiene
Cooperation, eye contact, psychomotor agitation or retardation
Abnormal movements: tics, tremors, chorea, posturing
Attention
Vigilance, concentration, ability to focus, sensory neglect
Orientation and memory
Orientation to person, place, time, situation
Recent, remote, and immediate recall
Language
Speech: rate, volume, fluency, prosody
Comprehension and naming ability
Abnormalities include aphasia, dysarthria, agraphia, alexia, clanging, neologisms, echolalia
Constructional ability
Clock drawing to assess neglect, executive function, and planning
Drawing of a cube or intersecting pentagons to assess parietal function
Mood and affect
Mood: subjective sustained emotion
Affect: observed emotion—quality, range, appropriateness
Form and content of thought
Form: linear, circumstantial, tangential, disorganized, blocked
Content: delusions, paranoia, ideas of reference, suicidal or homicidal ideation
Perception
Auditory, visual, gustatory, tactile, olfactory hallucinations
Judgment and insight
Understanding of illness and consequences of specific treatments offered
Reasoning
Illogical versus logical; ability to make consistent decisions

Source: Adapted from Hyman and Tesar 1994


Case finding atau skrining merupakan langkah awal dalam proses liaison psikiatri. Para dokter perlu pelatihan dan pendidikan praktis dalam diagnosis dan pengobatan klinis gangguan jiwa, terutama dalam lingkungan medis dan bedah. Edukasi dokter non psikiater dan tenaga kesehatan yang berkaitan mengenai masalah medis dan psikiatri yang berhubungan dengan penyakit pasien merupakan hal penting dalam proses case finding (Spitzer et al, 1994).














BAB IV
DIAGNOSIS

A. LANGKAH MENUJU DIAGNOSIS YANG TEPAT
Seperti sudah menjadi acuan umum setiap penegakan diagnostik dalam bidang kedokteran harus didasari oleh kaidah yang sudah baku. Dimulai dari langkah yang sederhana seperti anamnesis yang terarah sampai kepada pemeriksaan penunjang diagnostik dari yang sederhana sampai yang paling canggih yang diperlukan untuk penegakan diagnosis. Hal tersebut sudah diajarkan dalam kurikulum pendidikan kedokteran. Kendala dilapangan bisa saja ditemui kendala bahwa diagnosis masih sulit ditegakan yang kemungkinan sebab ketrampilan dokter itu sendiri, alat penunjang diagnostik yang tersedia, serta faktor pasien itu sendiri. Istilah psikosomatis yang sudah tidak digunakan dalam penegakan diagnosis di dalam lingkup psikiatri sampai saat ini masih digunakan oleh kalangan di luar psikiatri, dan tampaknya mudah digunakan untuk mengisi kekosongan diagnosis atau ada kesulitan dokter menerangkan proses patologinya.
Psikosomatik bisa diartikan seolah-olah faktor psikologis tidak berperan dalam terjadinya, perjalanan dan akibat dari penyakit lain yang tidak dideskripsikan. Dalam bidang psikiatri istilah psikosomatik diklasifikasikan sebagai faktor psikologis atau perilaku yang berhubungan dengan gangguan atau penyakit yang telah diklasifikasikan (F.54) juga ada pada gangguan somatoform (F.45), gangguan makan (F. 50), disfungsi seksual (F.52). Hal yang khusus yang penting untuk diperhatikan adalah kategori F54 atau kategori 316 dalam ICD-9 mengingatkan agar digunakan untuk menyatakan adanya hubungan antara gangguan fisik yang diberi kode di tempat lain dalam ICD-10, dengan penyebab emosional. Satu contoh yang lazim adalah pencatatan asma atau eksema psikogenik, baik sebagai F54 dari Bab V(F) maupun sebagai kode diagnosis yang sesuai untuk kondisi fisiknya dari bab lain dalam ICD-10 (Dirjen.Pelayanan Medik, 1993)



B. MASALAH DIAGNOSIS YANG EFEKTIF (efective diagnostic) dan COST EFECTIVE
Seiring dengan perubahan paradigma pelayanan kesehatan yang menuntut perbaikan kualitas hidup manusia baik fisik maupun mental maka kebutuhan akan CLP dirasakan penting. Sebagiamana tuntutan di atas maka langkah awal dalam pelayanan ini menentukan arah serta diagnosis yang tepat sehingga intervensi yang diperlukan dapat tepat sasaran. Hal tersebut disamping memerlukan ketrampilan dasar yang selama ini telah diasah selama pendidikan ilmu kedokteran juga harus diperhatikan etika yang selalu melekat bagi bagi dokter terutama dalam bidang CLP ini. Ruang lingkup layanan juga tidak terbatas pada bidang kuratif saja namun selama proses diagnosis bahkan preventif sampai rehabilitatif tetap selalui mengiringinya. Dalam prakteknya saat masih terbatas pada hal yang bersifat konsultasi pada kasus rawat jalan dan rawat inap saja namun bidang emergensi dapat pula dikembangkan, bahkan dibidang farmasi, medikolegal, kerja sama dengan tokoh masyarakat, pekerja sosial, rohaniawan dapat dilibatkan (Shaw, 2006; Westphal & Freeman ,1995 ).
Dalam CLP diagnostik dapat ditegakkan setelah terlebih dahulu didapatkan penemuan kasus. Langkah penemuan kasus tidak lain adalah evaluasi ulang dari seluruh aspek langkah diagnosis dalam psikiatri itu sendiri yang meliputi fenomena gejala/keluhan fisik dan mental/psikologis dan latar belakang sosiodemografik pasien. Pola yang sama dan umum melalui anamnesis dan aloanamnesis atau melalui suatu penjaringan dengan menggunakan instrumen khusus sehingga dapat dilakukan oleh orang lain digaris depan, paramedis lain. Instrumen penjaringan dapat berupa berupa daftar isian yang menyangkut latar belakang sosiodemografik, keluhan somatis, perubahan emosional, riwayat penyakit dahulu, penggunaan obat dan zat psikostimulansia, serta penemuan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainya. Sumber lain yang penting adalah keterangan dari keluarga dekat dan pendamping pasien, catatan medis, dokter atau suster yang merawat. Kemampuan untuk mengarahkan dan menilai bahwa gejala yang didapatkan dari penemuan kasus tersebut memerlukan pemeriksaan penunjang yang sesuai, baik penunjang fisik (MRI, CT-Scan, EEG) maupun kimiawi (kadar hormon tiroid, ureum, kreatinin, kadar obat, estrogen, dll) serta psikometri (MMPI, MMSE,wawancara terstruktur) merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki dalam CLP, sehingga diagnosis yang tepat serta intervensi yang efektif dapat dirancang yang berakibat dapat menekan biaya serta prosedur yang tidak perlu (Smith &Clarke et al., 2000).
Untuk kalangan psikiater sendiri ada kaidah khusus yang dapat dibuat untuk memudahkan penegakan diagnosis dan lebih praktis terhadap kasus yang dihadapi ini tanpa kehilangan hal-hal yang penting dan merupakan bentuk umum sebagai pegangan psikiater dan penghubung dengan bidang kesehatan lain yang terkait. Hasil rancangan kaidah bentuk laporan pemeriksaan bersama dalam satu tim kerja bisa berbeda dengan bidang lainya yang terkait tergantung tingkat spesifitas dan keterkaitan patofisiologi dari manifestasi gangguan tersebut, ketersediaan alat penunjang diagnostik, fasilitas kesehatan yang tersedia, aturan main yang disepakati bersama, terkait juga dengan sistem kesehatan antar satu negara dengan negara lain. Dari hal tersebut memungkinkan muncul perbedaan baik kaidah pemeriksaan maupun format laporan dari bidang spesialisasi kedokteran lain dimana CLP itu dilakukan, dan hal inil wajar dalam CLP. Semua variasi kaidah dan aturan yang disepakati tetap memiliki pola dasar yang sama dan tujuan bersama yang sama tujuanyang esensial adalah untuk kesejahteraan pasien terutama, agar diagnosis menjadi lebih terarah dengan biaya yang sepadan (Shaw, 2006).
Formulasi 5 aksis dalam penulisan format diagnostik dalam kalangan psikiater yang diajarkan selama pendidikan sebenarnya sudah membuka ruang untuk bidang riset, terapetik, serta rehabilitasi yang menghendaki keterlibatan bidang lain tidak hanya kalangan paramedis dan psikolog namun juga pekerja sosial, rohaniawan, antrolpolog, pemegang kebijakan (pemerintah) sehingga bidang CLP bisa berkembang tidak terbatas hanya di dalam kalangan medis semata tetapi bisa dilakukan di luar kalangan medis dengan fungsi dan peran yang saling sinergis ( Francis, 2004; Handrinos, 1998).
Dari pengalaman beberapa negara yang telah menjalankan CLP ini ada beberapa bidang yang sering menjadi garapan bersama antra psikiater dengan bidang kedokteran spesialisasi lain dalam CLP meliputi 6 bidang (Mercan, 2006; Smith GC.,2000) yaitu:
1. Efek psikologis akibat menderita penyakit fisik atau prosedur terapi
2. Gangguan somatoform
3. Perilaku yang membahayakan
4. Kedaruratan psikiatrik yang datang ke rumah sakit
5. Keadaan gangguan fisik dan psikologis akibat terapi psikiatrist
6. Gangguan fisik daan perilaku akibat kekerasan termasuk yang bersifat seksual
Untuk ruang lingkupnya dapat dibagi menjadi beberapa aspek yang secara umum sebagai berikut:
1. Apakah gangguan medis yang muncul didasari oleh gangguan mental atau bukan misalnya gejala depresi bisa diakibatkan primer akibat keadaan hipotiroid berbeda penangananya dengan depresi akibat stresor psikososial
2. Apakah gangguan mental yang menyerupai gangguan medis namun yang sebenarnya bukan gangguan mental misalnya ; delusional parasitosis, body dysmorphic disorder
3. Gangguan medis yang muncul adalah akibat keterlibatan proses psikologis contohnya; psoriasis, neurodermatitis, hyperhidrosis dll
4. Gangguan psikiatri yang timbul merupakan sekunder akibat isolasi sosial atau stigmatisasi dari gangguan kondisi medis misalnya depresi pada penderita kusta, dimana penyakit kusta masih dianggap kutukan oleh sebagian budaya di masyarakat sehingga harus dijauhi/diisolasi
5. Baik gangguan psikiatri maupun gangguan kondisi medis tertentu sama-sama timbul akibat dari adanya faktor genetik dan lingkungan contohnya mania dan psoriasis, keadaan hipo atau hipertoroid, autisme pada anak.
6. Gangguan kondisi medis tertentu yang muncul akibat kronisitas gangguan psikiatri misalnya dehidrasi, gizi buruk pada skizofrenia katatonik, infeksi kulit akibat higiene yang buruk pada skizofrenia hebefrenik
7. Gangguan psikiatri timbul akibat penggunaan obat-obat untuk penyakit tertentu, misalnya reserpin dan kortikosteroid yang dapat memunculkan gangguan mood
8. Gangguan kondisi medis tertentu yang timbul akibat penggunaan obat psikotropika misalnya distonia, Parkinsonism, reaksi alergi, ataksia, tirotoksikosis (penggunaan lithium), agranulosistosis, aritmia, hipotensi postural, neuroleptik malignan sindrom dll.
Dalam kaidah penulisan pada aksis I dan III tetap mengacu kepada diganosis yang telah baku seperti yang tercantum dalam DSM IV, ICD-10 yang telah digunakan secara internasional, maupun PPGDJ-III kalau di Indonesia, serta beberapa jenis kaidah yang tiap negara mengembangkanya. Dalam pembahasan ini akan diberikan beberapa contoh sistematika pemeriksaan dalam CLP dalam kaitanya dengan bidang neurologi.
C. KAIDAH PEMERIKSAAN UMUM STATUS MENTAL DALAM CLP
Ada 3 bidang utama yang menjadi dasar kaidah pemeriksaan status mental bagi psikiater yang terjun di bidang CLP ini yaitu meliputi 3 D (Delirium, Dimensia dan Depresi) dimana hal tersebut telah mencakup ruang lingkup dasar diagnosis dalam CLP (Westphal & Freeman , 1995) pendapat lain mengatakan adalah seperti layaknya seorang neuropsikiatrist memeriksa pasien, cara yang ringkas adalah dengan membagi menjadi 2 bagian besar yaitu komponen kognitif dan non kognitif. Tanpa meninggalkan urutan pemeriksaan umum status mental seperti yang diajarkan selama pendidikan kedokteran maka komponen mental lain dikelompokan ke dalam dua kategori tersebut. Bila ada keterkaitan dengan bidang kardiologi maka sistematika pemeriksaan mental sebagaimana sebagaimana seorang “psikokardiologist” melakukan pemeriksaan. Bila berkaitan dengan gangguan dermatologi maka lakukan pemeriksaan sebagaimana pemeriksaan seorang “psikodermatologist” (Wise& Strub, 1993). Jadi status mental pasien dibuat menurut kerangka CLP pada dasarnya memiliki substansi dan ruang lingkup yang sama namun sistematika pola yang bisa berbeda untuk kepentingan praktis dan terarah .
Contoh sistematika pemeriksaan status mental sebagai “neuropsikiatrist” sebagai berikut:

Tabel 16. Komponen Pemeriksaan Status Mental
Non kognitif Kognitif
Penampilan umum dan perilaku
Afek dan Mood
Proses fikir dan isi fikir
Persepsi
Kemampuan abstraksi
Daya nilai
Tilikan diri Tingkat kesadaran dan kewaspadaan
Perhatian
Kemampuan berbicara dan berbahasa
Orientasi
Memori

(Strub RL.,Wise MG., 1992)

Tabel 17. Gangguan psikiatri dan onsetnya
    Alzheimer’dementia

     Delirium

    Schizophrenia

Somatization Disorder

General anxiety disorder

Panic Disorder

Major depression

Bipolar disorder

0 10 20 30 40 50 60 70
Age onset of Psychiatric disorder
(Strub & Wise, 1992)

1. KOMPONEN NON KOGNITIF PADA PEMERIKSAAN STATUS MENTAL
Evaluasi pasien dengan perubahan kemampuan komponen non kognitif lebih sulit dibandingan komponen kognitif. Komponen non kognitif bersifat subyektif dan pada umumnya primer oleh karena gangguan mental. Penggambaran yang tepat membantu klinisi mengidentifikasi bahwa kelainan pada komponen non kognitif adalah akibat gangguan medis umum seperti tumor otak atau akibat penggunaan zat. Pertama, seorang klinisi harus tahu epidemiologi dari gangguan mental tersering (lihat tabel.1). Misalnya seseorang yang berumur 60 tahun yang sebelumnya belum pernah menderita gangguan mental, lalu hasil konsultasi didapatkan adanya dugaan menderita skizofrenia, maka harus diwaspadai kemungkinan ada kondisi medis atau pengaruh zat yang menjadi penyebabnya. Kita ketahui bahwa skizofrenia biasanya dimulai dari dewasa muda atau remaja, atau pernah menderita gangguan ini sebelumnya.
a. Penampilan umum dan perilaku
Dengan pengamatan yang cermat hal yang perlu dilaporkan sebagai berikut:
Bagai mana penampilan pasien dan perilakunya selama pemeriksaan. Peningkatan atau penururunan gerakan tubuh, mengambil sikap tertentu, tremor, gerakan involunter kasar/halus, gerakan diskinesia harus rinci dilaporkan. Pelaporan yang akurat mencegah bias bila laporan ini dibaca oleh orang lain.
b. Afek dan Mood
Terminologi yang umum untuk mood dan afek serta pelaporanya sama dengan pemeriksaan status mental stadart dalam psikiatri. Gangguan mood sering terjadi akibat gangguan kondisi medis umum (Wise and Taylor, 1990). Dalam DSM IV dikatakan mood disorder due to a general medical condition, dimana kondisi medis mempunyai nama spesifik atau bisa oleh keadaan substance induce mood disorde. Casem (1990) menggunakan istilah ini dengan gangguan mood sekunder.
Oleh karena kendala terminologi, maka dalam CLP untuk gangguan mood sering dikonsultasikan pada kasus akibat penggunaan zat (Rundell and Wise, 1989) dimana pernah dilaporkan 87% dari kasus manik dan 38% gangguan depresi ternyata akibat gangguan mood organik. Gangguan medis baik organik seperti stroke maupun zat yang berakibat lesi pada daerah subkortikal akan menyebabkan gangguan depresi. Jadi pasien dengan stroke berisiko tinggi untuk mengalami gangguan depresi, juga mania walaupun jarang (Goodwin and Jamison, 1990). Faktor yang mempengaruhi timbulnya suatu gangguan mental yang muncul pada penderita stroke kemungkinan besar ada proses patologis di susunan saraf pusat (Robinson and Starkstein, 1990). Penanganan yang tidak tepat gangguan mood pada kasus di atas mengakibatkan pemulihan yang lama (Parish et al.1990). Gangguan lain yang menyebabkan perubahan mood adalah hipotiroidisme. Keadaan manik dapat disebabkan oleh hipertiroidisme (Gold et al, 1981)
Efek samping beberapa obat juga dapat menyebabkan timbulnya gangguan mood misalnya reserpin dan methyldopa (Benson et al, 1983). Kortikosteroid dosis tinggi setelah transplantasi organ dilaporkan menyebabkan peningkatan mood sampai manik (Rundell and Wise, 1989; Wise et al. 1988). Bila telah dibuktikan tidak ada penyebab organik maupun zat maka dapat ditegakkan bahwa kondisi itu primer gangguan psikiatri dalam hal ini gangguan mood (gangguan depresi, gangguan bipolar, gangguan penyesuaian dengan afek depresi dll)
c. Proses fikir dan isi fikir
Bagaimana proses fikir dan isi fikir bisa diketahui bagaimana kualitas dan kuantitas pembicaraan serta perilaku pasien. Bagaimana pasien dalam menjawab pertanyaan, apakah ia responsif dan tepat menuju ide jawaban, apakah ada alur percakapan yang makin menjauh dari jawaban (tangensial). Bentuk fikir penting untuk menilai proses fikir. Proses fikir yang begitu cepat dari satu ide ke ide lain (flight of ideas), bisa tidak ada hubungan dengan alur berfikir yang tidak dimengerti (loose association) atau berhenti tiba-tiba (thought blocking). Isi fikir yang sebagian besar berisi satu tema menggambarkan apa yang menjadikan perhatian pasien, termasuk obsesi, preokupasi, adanya ide atau usaha bunuh diri, waham.
Pembagian gangguan berfikir dalam kategori fungsional dan organik tidaklah realistik. Oleh sebab itu gangguan berfikir primer (pada episode manik ganggguan bipolar 1, skizofrenia) dan gangguan berfikir sekunder (oleh karena penggunaan zat, obat, dalam keadaan delirium, demensia) dipakai dalam tema disini ( D.W Black et al, 1988) dari segi sebaran umur gangguan berfikir primer biasanya dewasa muda dengan tambahan adanya halusinasi auditorik dan pada yang sekunder biasanya pada usia lebih tua, ada gangguan kondisi medis umum, sedang menggunakan obat-obatan, halusinasi auditorik yang jarang, gangguan kesadaran, disorientasi, delusi yang tidak sistematis.
Perilaku dapat juga merefleksikan isi fikir. Pasien yang enggan menjawab disertai perilaku curiga memperlihatkan perilaku bermusuhan bisa pada keadaan paranoid.
d. Persepsi
Berat ringan gejala gangguan persepsi dapat bersumber dari laporan keluarga mengenai perilaku pasien bagaimana ia bersikap terhadap halusinasi atau ilusinya. Jenis halusinasi juga bisa membedakan mana gangguan primer psikiatrik atau bukan. Halusinasi auditorik sering terdapat pada gangguan mental primer seperti skizofrenia, mania, depresi psikotik. Pengecualian pada keadaan intoksikasi alkohol, halusinasi auditorik dapat muncul (Victor and Hope, 1958). Halusinasi yang melibatkan modalitas sensorik lebih mengarah kepada gangguan sekunder (organik).
Halusinasi auditorik terdapat pada skizofrenia berkisar 28-72% (D.W Black et al.1998). Halusinasi pada gangguan psikiatrik biasa bersifat audible voice/bergema, komentar, berargumen, fikiran berulang. Halusinasi auditorik yang selalu memanggil nama, berulang-ulang khas pada kelainana susunan saraf pusat dan beberapa gangguan non psikotik seperti kepribadian ambang, gangguan somatisasi, gangguan disosiatif.
Visual halusinasi khas pada gangguan otak atau gangguan sepanjang jaras pengelihatan atau keadaan lokal mata akibat penyakit (Bracha et al.1989). Visual halusinasi dapat terjadi dalam keadaan delirium, narkolepsi, epilepsi, migrain, lesi batang otak, gangguan saraf optik, pasca bedah okuler, setelah menghirup zat halusinogen. Harus dibedakan dengan keadaan pada orang normal seperti saat akan tertidur, keadaan hipnosis, atau mimpi.
Tactile hallucinations bisa terjadi pada gangguan psikiatrik misalnya skizofrenia maupun gangguan psikiatrik organik seperti delirium, epilesi parsial kompleks, psikotik organik.
Halusinasi olfaktori, gustatori dan kinestetik (gerakan) jarang pada gangguan organik (Lishman, 1987). Ketiganya bisa bersaan ada pada gangguan psikiatri seperti gangguan somatisasi dan psikotik dan monosimtomatik hipokondriasis.
e. Kemampuan abstraksi
Kemampuan abstraksi harus dinilai tingkat pendidikan. Anak kecil biasanya masih berfikir konkrit karena kemampuan asosiasinya terbatas. Namun hal tersebut dapat terjadi pada pasien skizofrenia, demensia.
f. Daya nilai
Daya nilai adalah kemampuan untuk mengantisipasi konsekwensi akibat suatu perbuatan dan usaha agar diterima sebagai bagian masyarakat atau budayanya. Perilaku yang tampak saat pemeriksaan penting untuk menilai daya nilai ini. Misalnya sikap permusuhan terhadap orang sekitar pada paranoid pasien.
g. Tilikan diri (insight)
Tilikan diri mengandung pengertian yang luas, yaitu kesadaran diri terhadap gejala atau gangguan yang dirasakan yang melibatkan komponen kesadaran psikologis baik disadari maupun tidak sehingga seseorang berperilaku tertentu (Feher et al.1989) Bila kasus yang ditemukan primer gangguan psikiatri maka ada 6 tingkatan derajat tilikan yang mengarah beratnya gangguan dari tilikan yang paling buruk (derajat 1) sampai derajat paling baik (derajat 6) (Dirjen.Pelayanan Medik, 1993)
2. KOMPONEN KOGNITIF PADA PEMERIKSAAN STATUS MENTAL
Ada dua cara mengetahui defisit neurologis sekaligus membedakan dengan gangguan organic:
a. Pengamatan selama wawancara dengan pasien
b. Instrumen baku : Mini-Mental State Examination (MMSE; Folstein et al.1975) dan Cognitive Capacity Screening Examination (CCSE; Jacobs et al.1977)
Untuk keadaan demensia berat atau delirium mudah dinilai dengan cara pertama namun untuk kelainan defisit fokal neuropsikiatrik ringan dan demensia ringan sampai sedang sulit dinilai, bahkan MMSE dan CCSE memiliki false negative 43% dan 53% pada pasien tersebut yang memang didasari akibat lesi di dalam otak.
a. Tingkat kesadaran
Kondisi yang sering dikonsultasikan dalam CLP adalah; pasien dalam keadaan letargik, agitasi, mengamuk setelah tindakan, perubahan cepat isi fikir, cemas. Pada delirium sering terjadi kesadaran berkabut, sulit memusatkan perhatian, gangguan isi fikir, perilaku yang kacau (Lipowski, 1990). Pasien dengan penurunan tingat kesadaran harus difikirkan penyebab dari delirium atau koma tersebut. Penyebab tersering adalah keadaan intoksikasi (medikasi, obat, alkohol, keadaan putus zat) lalu gangguan metabolisme, trauma kapitis dengan sekuele intrakranial, tumor otak (Magoun, 1963)
b. Atensi
Kemampuan mempertahankan atensi terhadap stimulus serta mengalihkanya merupakan fungsi mendasar yang kompleks dari fungsi kognitif (Berluchii and Rizzolatti, 1987). Inatensi (tidak dapat memusatkan perhatian) sering merupakan gangguan neuropsikiatri.
Test standar untuk memeriksa gangguan atensi adalah Forward Digit Span dan The A test for Vigilance (Strub and Black,1985). Pada Forward Digit Span pasien diperlihatkan sederatan 5 yang makin besar tetapi acak lalu pasien disuruh menyebutkan kembali tanpa melihat (standar normal). Urutan angka bisa makin besar (maju) atau hitung mundur (makin kecil) dalam deretan 5 angka tidak berurutan. Kemampuan yang diuji pada test urutan angka mundur adalah proses visuospasial sekaligus atensi (F.W Black, 1986). Gangguan atensi bisa terjadi pada keadaan cemas, kelelahan, delirium, demensia, skizofrenia, mania, lesi fokal otak terutama yang terletak di frontal inferior atau lobus parietal. Pada lesi otak luas yang mengenai satu belahan hemisfere dapat terjadi inartensi pada salah satu sisi tubuh (left or right hemiattention) (Weinstein and Friedland, 1977). Karena inatensi tidak spesifik merujuk kepada gangguan primer atau sekunder psikiatri maka harus diidentifikasi gejala lain yang menyertainya sehingga kemungkinan meluas kewilayah selain neuropsikiatri
c. Berbicara dan berbahasa
Yang menjadi fokus pemeriksaan adalah, alur pembicaraan, kecepatan, ritme, jelas pengucapanya, urutan kata apakah membuat kalimat yang benar. Bicara menggambarkan proses fikir. Pusat bahasa ada di belahan hemisfer dominan. Kelainan modalitas ini bisa dalam bentuk slurred speech (seperti bergumam/kumur-kumur) pada keadaan intoksikasi, soft trailing speech pada penyakit Parkinson, disfonia dan disartria pada pasien amiotropik lateral sklerosis. Gangguan berbahasa khususnya afasia ditandai kesulitan dalam menemukan kata-kata, membentuk kaliman dan mengeja dapat disebabkan defek area berbahasa di otak.
Dalam CLP instrumen pemeriksaan aphasia seperti Aphasia Screening Battery (Reitan, 1984). Pemeriksaan dapat juga dengan pertanyaan yang bodoh untuk memancing rasa humor pasien, bila pasien tidak tersenyum maka maka dapat menjadi bukti adanya gangguan kognitif, keadaan depresi atau ketakutan yang berat. Jadi disamping bagaimana cara berbicara juga bagaimana emosi yang menyertai pembicaraan harus dinilai. Aspek lain dari berbicara adalah repetisi, naming, membaca dan menulis.
Diagnosis yang tepat dalam pemeriksaan fungsi kognitif ini bisa menyelamatkan hidup pasien contohnya bila pemeriksa tidak bisa membedakan fluent afasia akibat masa lobus temporal dengan bahasa psikotik pada pasien skizofrenia yang mengalami dekompresi, maka hal ini dapat fatal. Dianosis yang berubah akan merubah penanganan. Afasia karena gangguan otak maka harus dirujuk ke dokter ahli bedah saraf.
d. Orientasi
Pertanyaan sekitar mengenali diri, waktu (tahun, bulan, hari, jam), tempat dan cuaca bial dijawab dengan benar biasanya dicatat dalam catatan medis dengan sebutan “X4” berarti orientasi baik. Namun dianjurkan jangan cepat mengambil kesimpulan normal atau pasien dalam keadaan tidak bingung atau fungsi otak normal. Pasien yang menderita lesi otak, delirium sedang, permulaan demensia orientasi bisa normal. Tidak mengenali diri sendiri jarang pada gangguan otak kecuali pada dimensia berat atau afasia, dan keadaan ini sebagian besar akibat gangguan psikiatri khususnya gangguan disosiatif seperti gangguan identitas disosiatif, amnesia disosiatif, fugu disosiatif. Walaupun terdapat penurunan kognitif global pada delirium dan dimensia, disorientasi tidak sejalan dengan beratnya penyakit. Pada pasien dengan delirium akut hanya 36% yang sulit menyebut tahun, 43% bulan dan 34% mengenali tempat (Cutting, 1980)
Disorentasi ruang/tempat dapat terjadi pada keadaan panik atau ketakutan pada suatu tempat yang besar seperti pusat perbelanjaan, takut kalau tidak bisa menemukan toilet, sulit menemukan lift untuk keluar, lupa mencari lokasi parkir mobil. Hal tersebut bisa terjadi pada orang normal karena lupa memberi tanda/mengenali mobil, lift, jalan keluar. Lain dengan keadaan dimensia dimana gangguan memori jangka pendek sudah terganggu maka ia akan kesulitan mencari dimana mobilnya diparkir, atau pasien dengan spasial disorientasi akibat kerusakan lobus parietal (De Renzi, 1985). Pasien ini menderita defisit persepsi visual sehingga tidak dapat mengintegrasikan informasi diseklilingnya untuk menandai mobilnya diparkir. Lesi pada lobus parietal kanan juga dapat menyebabkan keadaan disorientasi spasial. Pasien ini kadang disertai gejala hemineglect atau hamiatensi.
e. Memori
Pemeriksaan fungsi memori segera sebenarnya sudah bisa dinilai saat pemeriksaan orientasi. Pemeriksaan memori jangka pendek dengan cara menyebutkan 3 benda yang berlainan setelah perhatian dialihkan dengan obyek pembicaraan lain. Kemampuan recall ini penting untuk menduga adanya gangguan otak. Memeriksa memori dengan menyebut warna dan struktur benda dapat dilakukan untuk menilai konstruksional praksis, pemeriksan dapat mengajukan 3 kata dan 3 bentuk benda lalu pasien disuruh mengulang kembali.
Dalam CLP kehilangan memori menjadi perhatian utama karena banyak dikonsultasikan. Penyebabnya bisa dari primer gangguan psikiatri maupun organik atau keduanya. Riwayat penyakit sebelumnya dapat menjadi pegangan kemana arah penyebab gangguan ini. Pada umumnya pasien usia di bawah 40 tahun keadaan amnesia terjadi akibat gangguan psikiatri sedangkan usia yang lebih tua dengan kehilangan daya ingat progresif mengarah kepada demensia. Keadaan demensia mudah menjadikan orang tua jatuh ke dalam ansietas maupun depresi hal ini harus dicermati.
D. PERAN DIAGNOSIS DALAM CLP
Keefektivan konsultasi psikiatri terhadap pasien dengan gangguan medis memerlukan ketrampilan klinis serta kemampuan mengintegrasikan berbagai informasi menjadi suatu diagnosis. Ketrampilan yang esensial dalam CLP adalah kemampuan untuk melakukan pemeriksaan status mental secara komprehensif, khususnya menguji kemampuan kognitif pasien di bangsal serta melakukan pemeriksaan neurologis singkat. Data-data yang didapatkan digabungkan dengan riwayat penyakit sebelumnya baik medikasi yang diberikan, hasil pemeriksaan penunjang, gangguan mental yang pernah diderita, mekanisme defensi yang digunakan, kepribadian pasien serta keterikatan proses fikir dan perilaku berguna untuk membuat formula diagnosis. Hal tersebut merupakan proses yang paling baik dan berguna untuk diganosis yang tepat dari gangguan medis yang diderita pasien sehingga menimbulkan gangguan psikiatri

.







BAB V
INTERVENSI

A. PERAN INTERVENSI
Intervensi adalah suatu langkah antara diagnosis dan penerimaan pasien terhadap pengobatan. Ketrampilan komunikasi sangat penting dalam hubungan antara mengenali dan mendiagnosis suatu gangguan dan mengikut sertakan pasien dalam usaha-usaha terstruktur untuk mengobati gangguan tersebut. Intervensi juga bisa dianggap sebagai persiapan dari pasien untuk pengobatan psikiatri atau ketergantungan zat. Fase ini adalah salah satu bagian yang lebih menantang untuk komunikasi dokter-pasien yang lebih efektif, sebab pasien biasanya merasa bahwa diagnosis gangguan psikiatri atau ketergantungan zat sebagai ancaman bagi harga diri mereka. Bentuk komunikasi tersebut yang kami sampaikan di sisni juga dapat dipakai pada keadaan-keadaan di mana dokter memberitahu pasien dengan diagnosis-diagnosis atau kondisi-kondisi lain yang menganca, sebagai contoh; memberitahu seorang pasien yang menderita suatu penyakit medis yang mengancam hidup seperti AIDS atau kanker.
Pasien membutuhkan beberapa diskusi sebelum mereka mampu menerima diagnosis dan ikut serta dalam pengobatan. Beberapa dokter tidak yakin mengenai kemampuan dari pasien mereka untuk merespon secara efektif terhadap diagnosis gangguan psikiatri atau ketergantungan zat. Dokter sebagai komunikator yang efektif mengharapkan untuk mendiskusikan ketergantungan zat dan pengobatan psikiatris berkali-kali sebelum pasien mengambil tindakan. Ketekunan adalah kunci bagi komunikasi yang efektif. Dokter yang mencari informasi tambahan dari keluarga dan orang lain yang signifikan dalam fase diagnosis biasanya lebih efektif dalam fase intervensi. Anggota keluarga lebih mungkin mendukung intervensi dokter jika mereka merasa bahwa dokter telah mempertimbangkan perhatian dan informasi mereka.
Ketrampilan ini penting untuk intervensi singkat yang efektif dapat diringkas oleh suatu akronim FRAMES ( lihat Tabel 18).

Tabel 18. Akronim FRAMES
F Feedback on the patient’s risk or impairment
R Responsibility for change belongs to the patient
A Advice to change should be specific and nonambiguous
M Menu of alternative strategies
E Empathetic rather than confrontational counseling style
S Self-efficacy: a positive view of patient’s ability to change and the treatments efficacy


Ketika mendiskusikan suatu gangguan psikiatrik atau ketergantungan zat, umpan balik individual singkat dari resiko pasien, tekanan pada tanggung jawab pasien, saran-saran spesifik pada perubahan-perubahan yang dianjurkan, suatu daftar pilihan, empati, dan pandangan positif dari kemampuan pribadi pasien untuk berubah dan kemanjuran pengobatan merupakan komponen –komponen yang penting. Kotak-kotak dialog 1 dan 2 memberikan contoh singkat dari konsep-konsep ini.
Kotak dialog 1 : Laki-laki ketergantungan alcohol yang dirawat inap dengan pankreatitis.
Tn.A, Jika anda terus menerus minum alcohol, anda beresiko dengan episode yang lain dari pankreatitis (feedback). Saya menganjurkan anda untuk berhenti minum secara total (advice). Dalam pengalaman saya dengan pasien,saya tahu bahwa sangat sulit untuk berhenti minum sendirian (empathy). Saya mnganjurkan mengikuti perkumpulan pecandu alcohol tanpa nama. Anda dapat menghubungi nomor telepon ini untuk mendapatkan suatu rencana pertemuan, atau saya dapat juga mengusulkan pengobatan rawat inap dalam rumah sakit local kami atau program rawat jalan pada klinik yang dekat (menu). Ini adalah keputusan anda (responsibility). Saya tahu cara kerja pengobatan rawat inap dan perkumpulan pecandu alcohol tanpa nama tersebut (self efficacy).
Kotak dialog 2 :
Ny B, Saya piker bahwa problem tidur anda, kehilangan berat badan, saat-saat yang menyedihkan, dan kesulitan melakukan pekerjaan disebabkan oleh depresi. Tanpa pengobatan anda dapat terus menerus mengalami gejala atau merasa lebih buruk dalam setahun ini. Anda dapat juga mengalami seperti ingin bunuh diri tanpa pengobatan (feedback). Saya mengusulkan pengobatan (advice). Saya akan meresapkan suatu antidepresan atau anda dapat pergi ke pusat kesehatan mental atau ke psikiater lokal kami (menu). Ini adalah pilihan anda (reponsibility). Saya tahu kerja pengobatan pada sebagian besar pasien ( self efficacy), dan saya akan senang membantu anda (empathy).
Bentuk intervensi tersebut sebaiknya empati atau perhatian daripada bersifat konfrontatif atau tuduhan, optimistik daripada pesimistik, dan itu sebaiknya menempatkan pertanggunganjawab uantuk perubahan pada pasien, daripada dokternya, sistem perawatan kesehatannya, keluarganya atau yang lain.
Intervensi juga dibutuhkan seorang pasien dirujuk untuk konsultasi psikiatri. Pernyatan-pernyataan sederhana seperti pada kotak dialog 3 dan 4 akan membuat konsultasi suatu proses yang lebih efektif untuk pasien, psikiater konsulen dan dokter yang merujuk. Intervensi yang menggunakan ketrampilan-ketrampilan komunikasi dan perilaku yang sama menyiapkan pasien tersebut untuk konsultasi sikiater dan akan menambah keempatan kesuksesan rujukan.
Kotak dialog 3 : Pasien rawat inap laki-laki pecandu alkohol dan hepatitis
Tn C, Saya pikir kebiasaan anda minum alkohol adalah penyebab penyakit liver anda (feedback), dan anda perlu untuk menghentikan minum alkohol sebelum liver anda menjadi lebih buruk (advice). Saya harap anda membicarakan dengan Dr X untuk mendiskusikan apa yang dapat anda lakukan mengenai kebiasaan anda minum alkohol tersebut (responsibility). Saya sudah minta dia untuk menengok anda hari ini. Saya pikir beliaudapat membantu problem anda (empathy dan self efficacy).
Kotak dialog 4 ; Pasien rawat inap perempuan dengan gejala angina dan depresi
Ny D, Saya pikir problem anda engan insomnia, saat-saat menangis, dan kelelahan mungkin disebabkan oleh depresi (feedback) daripada karena jantung anda. Saya harap anda berbicara dengan Dr Y (advice), seorang yang ahli dalam bidang ini untuk melihat apakah kami dapat membantu anda dengan gejala-gejala ini (empathy). Saya sudah mengatur untuknya agar datang segera dan melihat anda hari ini. Inilah kesempatan yang baik dimana anda akan merasa lebih baik (self efficacy). Jika anda depresi dan meneruskan pengobatan.Saya senang anda merasa lebih baik dan melakukan lebih banyak dalam hidup anda (empathy).
Intervensi membutuhkan ketrampilan komunikasi, perilaku yang positif, ketekunan dan latihan, tetapi manfaat dari pengobatan yang sukses dari gangguan psikiatri dan ketergantungan zat dipandang dari segi kepuasan pasien, kesehatan dan fungsi pasien yang meningkat, dan kepuasan profesional yang bertambah adalah nilai usaha tersebut.

B. INTERVENSI PSIKIATRI PADA LINGKUNGAN MEDIS PASIEN RAWAT INAP
Perawatan rumah sakit pada pasien-pasien rawat inap merupakan komponen penyerahan pelayanan perawatan kesehatan yang termahal pada sistem perawatan medis kami. Intervensi untuk mengerti kebutuhan –kebutuhan psikiatri dan psikososial pasien yang dirawat di rumah sakit, untuk mengobati mereka, untuk memperkecil morbiditas fisik, dan mengurangi LOS (Length of Stay) adalah sangat penting untuk memelihara sistem perawatan kesehatan yang aktif dan mumpuni.
Kenyataannya, beberapa variabel selain kondisi medis pasien, menambah lama perawatan di rumah sakit. Zimmer (1974) melakukan observasi pada lebih dari 2500 pasien, 11,8% dari seluruh hari perawatan tidak dapat dijelaskan sebagai kebutuhan fisik. Glass dan kawan-kawan (1978) melaporkan bahwa 363 pasien bedah medis yang rawat inap di rumah sakit, 18% dari hari perawatan adalah sekunder faktor sosial daripada faktor fisik. Mason dan kawan-kawan (1980) menggambarkan beberapa alasan supaya pasien diterima di rumah sakit dan faktor-faktor yang dapat dicegah yang dapat menimbulkan pengakuan untuk suatu penyakit fisik. Mereka melaporkan bahwa faktor sosial adalah kritis pada keputusan untuk menerima 21% pasien di rumah sakit besar. Boaz (1979) menggambarkan bagaimana penggunaan tinjauan kembali dapat membantu dalam mempertahankan biaya rumah sakit; untuk pasien yang diterima berdasarkan kedaruratan, LOS dipengaruhi dengan kuat oleh faktor sosial.
Oleh karena itu, faktor psikiatri dan psikososial berlaku pada tiap fase dari episode suatu penyakit :
1. Sebelum pengakuan sebagai sebab atau ”tekanan” untuk pengakuan
2. Selama perawatan di rumah sakit
3. Selama keputusan yang mempengaruhi pengeluaran dan penempatan sesudah perawatan
Keputusan pada beberapa fase ini akan mempengaruhi deteksi dan pengobatan dari komorbiditas psikiatri dan LOS, dan oleh karena itu juga mempengaruhi biaya perawatan. Jadi intervensi harus direncanakan pada 4 fase penyakit untuk membicarakan dan memperbaiki persoalan biopsikososial yang mempengaruhi keputusan untuk menerima dan mempertahankan di rumah sakit .Pasien yang tidak mempunyai alasan medis untuk pengakuan mereka atau untuk LOS mereka yang diperpanjang. Rencana sesudah perawatan pasien dan pengeluaran pasien akhirnya mempengaruhi LOS, dan ini sering tergantung pada faktor biopsikososial.
Pada awal 1970 an, Berkman dan Rehr (1972,1973) adalah dua orang peneliti pertama melaporkan bahwa keperluan biopsikososial dikenali secara khas hanya terlambat dalam perawatan di rumah sakit, juga oleh metode rujukan yang biasa digunakan oleh layanan kerja sosial. Mengurangi keterlambatan waktu (yaitu, waktu dari intervensi psikososial sehingga ini dapat terjadi sedini mungkin pada perawatan di rumah sakit) dihipotesiskan untuk meningkatkan perawatan pasien dan mengurangi LOS. Sekarang ini layanan kerja sosial adalah bagian dari tim medis-bedah, tidak menunggu rujukan, dan dilibatkan dengan seluruh populasi bangsal (angka sebutan); mereka telah berubah dari model rujukan ke model penghubung.
Sebagian besar penelitian terhadap populasi medis pasien rawat inap mengalami kecacatan karena satu atau lebih faktor perancu, termasuk problem pengukuran dan instrumentasi; kurang acaknya sampel-sampel kontrol dan sampel eksperimental; pengaruh pemindahan dari lingkungan eksperimental ke lingkungan kontrol ( yaitu pengaruh dari intervensi yang memperluas lingkungan kontrol); kegagalan mempertimbangkan keseriusan penyakit medis, banyaknya diagnosis medis dan psikiatri, dan kompleksitas intervensi medis dan bedah; dan kurang baiknya manajemen statistik dari data fisiologis dan data psikososial. Bilkings (1936) adalah peneliti pertama untuk menggambarkan status biopsikososial yang meningkat dan pelepasan dari rumah sakit yang lebih dini sesudah suatu intervensi psikiatri.
Bonilla dan kawan-kawan (1961) mendapatkan kesehatan yang meningkat dan mengurangi keluhan-keluhan nyeri pada tindakan bedah sesudah hipnosis. Boone dan kawan-kawan (1981) melaporkan bahwa intervensi kerja sosial yang dini dan menyeluruh dapat meningkatkan kesehatan psikososial dan mengurangi LOS sampai 1,25 hari (P=0,001, F=10,10, df= 1,362) dalam suatu kelompok eksperimental yang dibandingkan dengan suatu kohort kontrol. Bagaimanapun, peneliti tidak melakukan kontrol untuk pengaruh pemindahan (dengan demikian kelompok kontrol mengurangi perbedaan dalam intervensi). Intervensi yang diijinkan jalan dini pada tiap pasien (metode penghubung) tanpa menunggu rujukan (yaitu suatu permintaan konsultasi) dan mengakibatkan suatu pengaruh pengganti kerugian biaya.
Levitan dan Kornfield (1981) membuktikan pada pasien ortopedi bahwa layanan penghubung psikiater, berbeda dengan pendekatan konsultasi tradisional, mengakibatkan suatu pelepasan yang lebihi dini pengganti kerugian biaya dan lebih banyak pelepasan ke rumah dari pada ke rumah perawatan (LOS adalah 30 lawan 42 hari, dan pelepasan ke rumah adalah 16 lawan 8 pasien, berturut-turut untuk cohort eksperimental dan cohort kontrol (P<0,05).
Ackerman dan kawan-kawan (1988) menggambarkan pengaruh pendampingan depresi dan pengaturan waktu untuk konsultasi psikiatrik pada LOS pasien rawat inap medis. Mereka mendapatkan bahwa 11% perbedaan LOS pada populasi kontrol dan eksperimental dapat dijelaskan secara memuaskan oleh penetapan waktu konsultasi. Secara spesifik, konsultasi psikiatri yang terjadi lebih dini dalam perawatan di rumah sakit dihubungkan dengan suatu LOS yang lebih pendek yang diharapkan dari sistem kelompok yang berhubungan dengan diagnosis (DRG: Diagnosis Related Group). Oleh karena itu, deteksi dan pengobatan dini, bilamana perlu, untuk tiap pasien dapat menurunkan secara signifikan LOS dan pengeluaran dari sumber-sumber medis.
Levenson dan kawan-kawan (1992) memeriksa hasil psikiatrik dan ekonomik dari konsultasi psikiatrik yang dipandu oleh penyaringan pada pasien-pasien medis umum. Walaupun mereka menemukan tidak ada perbaikan psikososial maupun pelepasan yang lebih dini – lama tinggal di rumah sakit cukup pendek untuk mulai dengan – akibat-akibat ini telah dapat dijelaskan dengan memuaskan oleh penelitian populasi medis heterogen, yang mendapat hanya satu kali kunjungan oleh psikiater, menggunakan intervensi ”tidak langsung” yang dilaksanakan melalui dokter yang mengajukan konsultasi dengan kurang dari 50% indeks dengan rekomendasi konsultan, bekerja dengan populasi yang tidak menguntungkan di pusat kota, dan pemeriksaan pasien-pasien yang LOS preintervensinya sudah pendek.
Strain dan kawan-kawan (1991) meneliti intervensi liaison psikiatri dibandingkan dengan konsultasi tradisional pada pasien-pasien tua yang fraktur pada pangkal pahanya pada dua tempat yang berbeda – Rumah sakit Mount Sinai (MSH) di New York dan Rumah sakit Northwestern Memorial (NMH) di Chicago menggunakan penilaian dan bentuk intervensi yang sama. Semua pasien dinilai oleh psikiater dengan ijin dan yang diobati dengan terapi psikologis dan/atau farmakoterapi sesudah suatu tinjauan dari semua pengobatan. Pasien-pasien didiskusikan dalam rentetan penyelidikan multidisiplin mingguan (Strain dan Hamerman 1978), dan persoalan-persoalan psikososial/psikologis diajukan pada rencana-rencana pelepasan. Pengobatan dikoordinasikan dengan pekerja-pekerja sosial, orang-orang lain yang signifikan bagi pasien, dan tim pengobatan. Pada kelompok perbandingan (konsultan tradisonal), lebih sedikit dari 10% (MSH) dan 3% (NMH) dirujuk untuk konsultasi, sedangkan pada kohort eksperimental (liaison), 70%-80% menerima penilaian dan intervensi jika diperlukan (Pasien sisanya menolak untuk mendatangkan informed consent dan oleh karena itu dikeluarkan).
Intervensi liaison, bedanya dengan pendekatan konsultasi :
1. Mendeteksi DSM-III-R secara signifikan (American Psychiatry Association 1987) morbiditas Psikiatrik (56%).
2. Menghasilkan lebih sedikit depresi dan penurunan kognitif pada pelepasan.
3. Mengurangi Los sampai 2 hari.
4. Menyebabkan hari-hari rehabilitasi yang lebih sedikit.
5. Tidak menyebabkan rawat inap kembali dalam periode follow-up 12 minggu.
Faktor perancu umur, jenis kelamin, beratnya penyakit, banyaknya diagnosis psikiatrik, densitas tulang, kekompleksitasan prosedur pada bagian ortophedi, kestabilan fraktur, tingkat sosioekonomi, tempat penelitian, dan tahun penelitian diperhitungkan dalam analisis regresi yang menyatakan bahwa 11% perbedaan dalam biaya dapat dijelaskan dengan penilain dan intervensi. Tidak ada pemindahan biaya dari komponen-komponen pasien rawat inap ke pasien rawat jalan dalam episode penyakit. Pada kenyataan, tidak hanya biaya rawat inap yang berkurang, tetapi biaya sesudah pelepasan – 12 minggu rawat jalan berkurang juga. Kesimpulan, pendekatan liaison menghasilkan peningkatan kesehatan psikiatrik dan penggantian kerugian biaya yang signifikan pada kedua rumah sakit (contoh MSH $ 20.000 biaya intervensi menghasilkan penghematan $167.000, cost – offset ratio 1:8).
Penelitian lain telah memperlihatkan kepentingan menyebutkan keperluan-keperluan biopsikososial dari semua pasien saat atau menjelang pangakuan untuk meningkatkan status pasien dan untuk menghemat biaya perawatan kesehatan. Hammer dan kawan-kawan (J.S Hammer, H.T.C. Lam. J.J. Strain, unpublished data, september 1993) menggunakan pendekatan skrining risiko tinggi pada kantor perijinan untuk mengevaluasi angka populasi rumah sakit umum dan mendapatkan bahwa bilamana keterlambatan waktu untuk penilaian psikososial dan pengobatan diperpendek, pasien-pasien dengan komorbiditas psikiatrik dan medis dikembalikan lebih dini. Untuk tiap dolar yang dikeluarkan untuk program skrining risiko sosial, rumah sakit penelitian menghemat 48 dolar US (1:48).
Mekanisme yang mendasari intervensi liason tersebut dan pengaruh dari komponen-komponennya tidak diketahui. Selama mereka ditemukan, model liaison sebaiknya digunakan secara rutin dalam lingkungan medis.

BAB VI
TREATMENT
A. Interaksi pikiran dan tubuh.
Mengapa dokter dan paramedis sekarang ini mengalami kesulitan dalam merawat manusia seutuhnya? Praktek kedokteran modern sudah menjadi sesuatu yang mekanis, bersifat teknis, dan tersekat-sekat. Pandangan kita yang rasionalistis dan yang tersekat-sekat membuat sulit terlaksananya pendekatan terpadu yang bertujuan menyembuhkan orang sakit. Dokter, perawat, teknisi, terapis fisik, psikolog, psikiater, terapis (nonfisik), pekerja sosial, konselor, rohaniawan, dan lain-lain yang turut merawat seseorang – semuanya mendapat pelatihan dibidangnya masing-masing. Tetapi keseluruhan sistem yang ada sekarang ini tidak memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka (caregivers) walaupun pasien yang sedang ditolong seringkali memerlukan pertolongan dari mereka semua. Sebagai pemberi pengobatan, perawatan, dan bimbingan psikologis (caregivers), perlu bekerjasama dalam satu tim (Fountain D.E,2002).
Setiap individu/pasien memiliki kekhususan (ke-unique-an) sendiri yang berakar pada jenis kelamin, konstitusi, pengalaman hidup, umur, fase kehidupan, sumber-sumber kekuatan dan dukungan lain, agama, kepercayaan, budaya dan sebagainya, yang mempengaruhi keadaannya baik dalam kondisi sakit maupun sehat. Dokter harus mampu mempertimbangkan berbagai aspek tersebut dalam menangani masalah kesehatan (Wibisono S, 2007).
Bukti-bukti menunjukkan bahwa banyak pasien dengan penyakit yang parah menggunakan kepercayaan religius untuk melakukan koping terhadap penyakitnya. Penggunaan religius/spiritualitas dilakukan secara luas untuk memperkirakan keberhasilan koping terhadap penyakit fisik. Dalam meta-analisis dari lebih 850 penelitian yang meneliti hubungan antara religius dan berbagai aspek dari kesehatan mental, sebagian besar penelitian menunjukkan manusia mempunyai kesehatan mental yang lebih baik dan lebih berhasil beradaptasi terhadap tekanan jika mereka religius. Analisis lain dari 350 penelitian menemukan bahwa orang religius secara fisik lebih sehat, mempunyai gaya hidup yang lebih sehat dan memerlukan perawatan kesehatan yang lebih sedikit (D’Saouza, 2007).
Kita semua mengalami, efek yang sama dari interaksi mental-fisik dalam kehidupan keseharian. Kurang disadari bahwa, peningkatan fungsi imun berkaitan dengan perubahan fisik dan mental ini. Status fisik sangat berespons terhadap persepsi dari rangsangan lingkungan, tidak mengherankan bahwa sistem imun juga sangat kuat dipengaruhi oleh status mental. Komponen utama dari sistem imun, leukosit (sel darah putih), berfungsi dalam lingkungan kimiawi yang dinamis melibatkan molekul pembawa pesan dari sistem saraf, eksokrin, dan endokrin. Perubahan fisiologis mengubah susunan kimia dari lingkungan ini, yang dapat menimbulkan ekspresi genetik dari pelepas atau reseptor protein pada leukosit atau yang sejenis di mana sitokin (molekul komunikasi antar sel imun) akan berikatan dengan reseptornya. Dan hubungan ini tidak secara langsung; fungsi imun sendiri dapat mengubah proses neurologi, fisiologi dan, sudah tentu, proses perilaku. Perilaku, dihasilkan dari permainan dinamis dari tingkat hormonal dan hubungan saraf, dapat memicu fungsi imun disamping juga dapat dipicu oleh sel imun (gambar 1).


Gambar 1. Kerangka kerja konseptual
(diadaptasi dari Duncan Smith-Rohrberg,2000).
Stres dapat memberikan efek imunosupresi, ini tidak mengherankan bahwa aksis hipotalamus-pituitari-adreanal (HPA), komponen perifer yang penting dalam respons stres, sangat berdampak pada rangsangan saraf terhadap sistem imun. Hormon yang dikeluarkan oleh hipotalamus dan pituitari berpengaruh pada aksi dari beberapa organ endokrin, seperti organ seks, kelenjar adrenal, dan kelenjar tiroid. Hubungan ini diperantarai oleh neurohormon sekresi nukleus hipotalamik di dalam darah pada portal hipopiseal, di mana mereka mempengaruhi kelenjar pituitari posterior, dan kemudian mengatur kontrol sekres hormonal oleh kelenjar pituitari anterior, yang akan mengubah efek organ target. Beberapa hormon pituitari yang dipengaruhi hipotalamus dapat mempengaruhi fungsi imun, seperti GRTH, prolaktin, TSH, FSH, dan LH, dan secara tidak langsung, model linier dari interaksi neuroimun hampir selalu terlalu disederhanakan. Bagaimanapun, perhatian utama pada aksi dari hipotalamus dan pituitari terhadap kelenjar adrenal (HPA), sistem ini merupakan dasar yang penting bagi fungsi imun (gambar 2).

Gambar 2: "Hypothalamus-Pituitary-Adrenal Axis"
(diadaptasi dari Pennisi, 1997)
HPA aksis dan sistem simpatis sistemik dan adrenomedular merupakan lingkaran perifer dari sistem stres, yang fungsi utamanya untuk memelihara homeostasis berkaitan dengan stres. Komponen sentral dari sistem ini berada di hipotalamus dan batang otak. Sistem stres aktif saat tubuh beristirahat, menanggapi sirkadian yang berbeda-beda, neurosensori, tekanan darah, dan sinyal limbik. Sinyal ini termasuk sitokin yang diproduksi oleh imunitas yang dipacu reaksi radang, seperti faktor α tumor nekrosis, interleukin-1, dan interleukin-6. Aktifasi dari sistem stres meningkatkan rangsangan, peningkatan reflek motorik, meningkatkan kewaspadaan dan fungsi kognitif, menurunkan hasrat dan rangsangan seksual, dan meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Sistem aktif ini juga mengubah fungsi kardiovaskuler dan metabolisme antara dan menghambat imunitas terhadap radang.

Gambar 3. Komponen utama dari Sistem Stress Sentral dan Perifer.

Gambar 4. Interaksi Glucocorticoids dan Cytokines (diadaptasi dari Munck & Gyre, 1981).


Gambar 5. Interaksi antara Sitokon inflamatori dan efek dari glukokortikoid dan katekolamin (diadaptasi dari Chrousous, 1995).

Gambar 6. Interaksi antara Sistem stress dan Inflamasi yang dimediasi oleh imun (diadaptasi dari Chrousous, 1995).
B. Panduan Terapi CLP
Terapi psikiatri dan manfaat konsultan psikiater saat ini berkaitan dengan kesediaan pasien, keakutan pasien, faktor risiko, dan ketersediaan sumber daya setempat. Psikiatri C-L biasanya menggunakan terapi biologis dan psikoterapetik yang telah menunjukkan kemanjuran (Westphal J.R dan Freeman A.M, 2000).
1. Terapi Biologis
a. Prinsip dalam terapi.
Prinsip terapi dalam CLP adalah (Jachana, Lane, dan Gelenberg, 1996):
1) Ingat bahwa menghentikan pengobatan sering merupakan tindakan yang mengungtungkan.
2) Bila mungkin, perlu menghindari meresepkan “pengobatan bila perlu”.
3) Jika ada kebutuhan memberikan dosis “pengobatan bila perlu”, pantau frekuensi penggunaan untuk menentukan tingkat dosis yang tepat.
4) Penting untuk menggunakan dosis minimum dalam mempertahankan respons yang diinginkan.
5) Mengganti satu obat hanya dalam satu waktu.
6) Bila mungkin, gunakan hanya satu obat untuk mengobati gangguan atau gejala pada pasien.
7) Jaga campuran obat tetap sederhana.
8) Jangan memberikan pengobatan profilaksis kecuali ada alasan yang rasional.
9) Gunakan obat yang telah terbukti kemanjurannya.
10) Ingat bahwa kadar obat dalam serum hanya salah satu indikator dari efek, bukan merupakan bukti dari kemanjuran atau toksisitas.
11) Ketahui bahwa obat generik lebih murah, tetapi bioavailibilitasnya dapat rendah.
12) Pertimbangkan bahwa setiap pasien menampilkan suatu pengalaman baru.
Salah satu pengobatan psikofarmakologi yang paling bermanfaat yang dapat diberikan seorang konsultan CLP adalah merekomendasikan penghentian pengobatan. Penggunaan kombinasi psikotropik yang tidak sesuai dengan pengobatan yang lain memberikan efek samping yang tidak diinginkan yang dapat memberikan efek merugikan pada pasien secara fisik dan mental. Pasien yang secara medis sakit sangat rentan pada efek samping ini dan sering menerima pengobatan yang saling berinteraksi, jadi berpotensi menimbulkan efek samping (Jachana, Lane, dan Gelenberg, 1996).
Efek pengobatan jangka pendek dan panjang sering saling tercampur, seperti efek jangka pendek sedatif dan jangka panjang antipsikotik dari pengobatan neuroleptik. Jadi, untuk penilaian respons yang adekuat, sangat berguna untuk mengurangi jumlah variasi obat pada situasi tertentu, seperti menghentikan atau menghindari penggunaan neuroleptik pada pasien dengan demensia agitasi. Jika mungkin, dosis bila perlu sebaiknya dihindari sehingga respon pasien dapat diatur, dosis harian dapat ditetapkan. Kegagalan untuk melakukan ini dapat menghasilkan kebingungan dan kekacauan siklus dosis yang bila perlu dan yang tetap. Bila dibutuhkan dosis bila perlu, frekuensi dosis sebaiknya dipantau untuk menentukan jumlah pengobatan tambahan yang dibutuhkan (Jachana, Lane, dan Gelenberg, 1996).
Manajemen pengobatan yang efektif juga menerapkan penggunaan dosis minimum dari obat penting untuk mempertahankan respons yang diinginkan. Mengetahui pola umum dari respons dan memantau gejala individual pasien membantu untuk memastikan peresepan dosis yang sesuai untuk mempertahankan respons yang lengkap. Keefektifan dari pengubahan pengobatan sering dapat ditentukan dengan baik dengan mengubah satu obat dalam satu waktu. Idealnya, dokter sebaiknya menggunakan satu macam obat untuk mengobati pasien dengan gejala atau gangguan tertentu. Pada beberapa pasien, seperti dengan depresi berulang, perlu merencanakan kombinasi obat dengan sangat hati-hati. Hampir tidak perlu untuk menggunakan lebih dari satu obat dari golongan yang sama dalam satu waktu. Disamping itu, jumlah obat efektif yang minimum seharusnya diberikan sehingga obat tambahan tidak dibutuhkan untuk mengatur efek samping. Sebagai contoh, menambahkan benzotropin untuk mencegah efek ekstrapiramidal dari neuroleptik juga dapat menimbulkan toksisitas. Situasi tertentu perlu diwaspadai dalam pemberian propilaksi (contoh, benzotropin) bila tidak ada gejala ekstrapiramidal; sebagai contoh, untuk menghindari reaksi distonik yang menakutkan setelah pemberian awal antipsikotik pada pasien yang gelisah yang mengalami episode awal dari skizoprenia. Penggunaan kombinasi obat harus dihindari karena tidak dapat mengkontrol dosis individual dari kandungan obat (Jachana, Lane, dan Gelenberg, 1996).
Dalam memilih obat dari banyak yang tersedia, sering sangat membantu untuk menggunakan apa yang sebelumnya telah terbukti berguna secara individu. Obat generik dapat memberikan biaya yang minimal, bioavailibilitasnya dapat rendah. Absorbsi yang bervariasi dari lithium lepas lambat dapat memberikan masalah pada beberapa pasien. Sangat penting, informasi yang tersedia tentang respon khusus dari semua pengobatan berdasarkan pada analisis statistik, bukan berdasarkan pengalaman klinis pada pasien individu. Setiap pasien adalah pengalaman baru! (Jachana, Lane, dan Gelenberg, 1996).
b. Prinsip dalam pemilihan obat.
Prinsip dalam pemilihan obat (Malt, 2006) adalah :
1) Efek pada masalah klinis.
2) Efek pada penyakit yang mendasari.
3) Implikasi gambaran efek samping.
4) Interaksi dengan obat ”somatik”.
5) Pengobatan oral atau parenteral.
6) Fungsi hati atau ginjal dan dosis.
7) Kesesuaian biologis?



c. Farmakodinamik, farmakokinetik , interaksi dan efek samping obat psikiatri.
























2. Psikoterapi
Psikoterapi didefinisikan dengan istilah umum sebagai penggunaan bahasa verbal untuk memberikan pengaruh yang menguntungkan pada status mental dan emosi seseorang. Psikoterapi sendiri dalam psikiatri adalah proses dimana individu (pasien) turut serta dalam pertemuan terstruktur dan berkesinambungan dengan seseorang yang memiliki sertifikat, telah mengikuti pelatihan, mempunyai ijin, dan memiliki organisasi etika serta berkualifikasi untuk mempengaruhi status mental orang lain. Tidak ada perbedaan fundamental antara pasien dan terapis selain pelatihan yang diterima terapis sesuai tugasnya. Poin disini adalah psikoterapis tidak lebih superior dibandingkan pasiennya. Pasien dapat berpikiran seperti itu tetapi terapis harus menghindarinya (Nash, 2000).
Bentuk utama psikoterapi (Nash, 2000) :
a. Psikoterapi dinamik.
b. Psikoterapi humanistik-eksperiental.
c. Psikoterapi kognitif-behavioral.
d. Psikoterapi eklitik atau integrasi.
Psikoterapi pada pasien yang menderita penyakit medis harus menyesuaikan dengan kebutuhan pasien (psiko-edukasi, relaksasi, hipnosis, imaginasi, CBT, terapi ekspresif-suportif), bila dibutuhkan kombinasikan teknik yang ada baik terapi individu maupun terapi kelompok. Libatkan orang-orang yang sangat berpengaruh bagi pasien (pasangannya atau keluarga) (Sollner, 2006).
Perlu dilakukan penyesuaian teknik psikoterapi pada pasien dengan penyakit medis (Sollner, 2006), antara lain :
a. Lebih berpusat pada suportif bukan pada konflik, membangun hubungan terapeutik yang memberikan rasa aman.
b. Memperkuat sumber daya yang telah ada pada pasien.
c. Memfasilitasi luapan emosi pasien.
d. Lebih terstruktur dalam membuat kerangka terapi yang aman.
e. Pusatkan pada jangka pendek (perspektif waktu yang pendek).
f. Perkuat dukungan sosial (yang menguntungkan).
g. Libatkan orang-orang yang berpengaruh besar pada pasien.
h. Berikan dukungan pada terapi medisnya.
Dalam psikoterapi harus mempertimbangkan penyesuain pasien terhadap penyakitnya.

Gambar 5. Penyesuaian Pasien dan penyakit
Terapi Kognitif-perilaku (CBT) pada pasien dengan penyakit medis bertujuan :
a. Mengurangi gejala.
b. Mengidentifikasi dan mengubah pikiran dan perasaan yang berperan dalam strategi koping yang maladaptif.
Metoda yang dipergunakan :
a. Restrukturisasi kognitif.
b. Menghilangkan pikiran yang tidak benar dengan interfensi perilaku yang sesuai.
c. Menghindarkan dari pikiran dan perasaan yang membuat tidak nyaman.
d. Relaksasi atau hipnosis.
e. Manajemen stres.
Pendekatan psikodinamik dengan terapi suportif-ekspresif dengan tujuan :
a. Mengurangi gejala.
b. Memperkuat dukungan sosial.
c. Mengembangkan strategi koping yang adekuat.
d. Menghilangkan ketakutan tentang kematian dan sekarat.
e. Mengembangkan perasaan yang koheren.
Metoda :
a. Membangun hubungan terapeutik yang memberikan rasa aman (fungsi memberikan pegangan, Winncott).
b. Memberikan kesempatan mengekspresikan perasaan.
c. Mengkombinasikan teknik suportif dan menghibur.
d. Membicarakan kebesaran jiwa “toleransi yang besar didalam diri” (Freud).
e. Mendefinisikan prioritas hidup.



3. Hubungan Psikofarmaka dan Psikoterapi
Perlu diingat bahwa psikofarmaka mempunyai bagian yang berbeda dalam efek dibandingkan psikoterapi dan mempunyai jalur yang berbeda. Sebagai contoh, perubahan pada metabolisme glukosa regional (fluorin-18-ditandai deoksiglukosa pada PET) pada pasien yang mendapat CBT (gambar atas) dan pasien yang mendapat paroksetin (gambar bawah) sebagai pengobatan. Peningkatan metabolisme ditunjukkan warna jingga dan penurunan warna biru (Malt, 2006).
Hubungan antara daerah yang dipengaruhi Kognitif-behavioral terapi (CBT) dan respons terhadap pengobatan.

Psikoterapi dan psikofarmaka efektif, tetapi besarnya efek yang diberikan tidak sangat luar biasa (tidak ada panasea) (Malt, 2006).
d. Peran Treatment CLP
Therapi dalam CLP dapat disimpulkan sebagai integrasi dalam pengobatan dimana pasien sebagai pusat dalam manajemen penyakit mengunakan kolaborasi antar profesional dengan memperhatikan kompleksitas pasien secara sistem organik dan elemen psikososial dan kompleksitas jumlah disiplin ilmu dan tipe pengobatan yang terlibat. Kolaborasi antar profesional meliputi kolaborasi antar lembaga, kolaborasi antar tim kerja dari berbagai disiplin ilmu, tim kerja dari sesama disiplin ilmu (Smith G, 2006).



















BAB VII
KOMUNIKASI
Liaison service membutuhkan sumber daya manusia, uang dan motivasi. dibutuhkan personel yang cukup agar konsultasi psikiatri dapat menampilkan layanan yang lebih dari sekedar wawancara pasien di wilayah yang ditunjuk untuknya. Ia harus mampu melingkupi semuanya, membahas pasien dengan petugas di rumah dan mengajari perawat. Lebih lanjut, liaison dibedakan dari konsultasi dimana pasien dalam tanggung jawab konsultan psikiatri yang sama besar dengan dokter rujukan. Karena konsultan mencakup layanan sosial sekitar petugas rumah, ia mampu menemukan masalah psikiatri yang potensial (Hackett and Cassem 1979, p.5).
A. KOMUNIKASI PSIKIATRI
1. Kualitas Efektifitas dan Kompetensi Komunikasi Psikiatri.
Pelaksanaan CLP yang baik dimulai dengan penguasaan pengetahuan dan keahlian psikiatri dasar dan kedokteran serta bedah. Pengetahuan dasar dan keahlian tentang tubuh manusia dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan CLP meliputi pengertian tentang patofisiologi, psikoterapi (psikodinamik, kognitif, dan behavioral), managemen adminitstratif dari masalah sistem, ekonomi kedokteran, geriatrik, dan forensik. Beberapa pengetahuan seperti bagaimana komorbiditas psikiatri memberikan variasi dan pengaruh terhadap penyakit yang berbeda, usia, status sosioekonomi, dan faktor lain yang juga penting untuk CLP. Walaupun banyak psikiater melaksanakan konsultasi psikiatri sebagai bagian dari praktek klinis mereka, ada perbedaan keahlian yang sangat besar antara tingkan pendidikan dan pengalaman klinis (sebagai contoh, residen, spesialis, doktor) (Kunkel dan Thompson, 1996).
Secara umum, tujuan dari konsultasi psikiatri dalam pelayanan medis dan bedah adalah :
a. Menjamin keamanan dan stabilitas dari pasien dalam lingkungan medis.
b. Mengumpulkan riwayat dan data medis yang cukup dari sumber yang terpercaya untuk menilai pasien dan merumuskan masalah.
c. Untuk mengatur pemeriksaan status mental dan permeriksaan neurologis dan fisik bila diperlukan.
d. Menetapkan diagnosis banding.
e. Membuat rencana terapi.
Konsultan CLP harus memiliki pengertian klinis yang mendalam tentang gangguan fisik dan neurologis dan hubungannya dengan perilaku sakit yang abnormal. Konsultan CLP harus ahli dalam mendiagnosis, mampu menguraikan bagian dan merumuskan gangguan multiaksial pasien, dan mampu membuat rencana terapi yang efektif. Konsultan CLP juga harus mempunyai pengetahuan intervensi psikoterapi dan psikofarmakologi sebaik pengetahuan tentang seluruh aturan aspek medikolegal dari psikiatri dan peyakit medis dan perawatan rumah sakit. Dokter psikiater, dengan keahlian profesional yang tinggi dan pengetahuan, memiliki kemampuan untuk memimpin tim multidisipiner (Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire, 1998).
Evaluasi dari status mental pasien dengan penyakit medis yang serius, merumuskan masalah dan diagnosis mereka, dan mengatur serta menerapkan rencana terapi yang efektif termasuk keahlian klinis lengkap yang membutuhkan pelatihan khusus (Tabel 2-2). Di samping untuk pemeriksaan psikiatri yang biasa, pengetahuan khusus tentang diagnosis, masalah medikolegal, dan intervensi psikoterapi serta psikofarmakologi sangan penting. Konsultan psikiatri harus terbiasa dengan rutinitas lingkungan medis dan bedah dan mempunyai pengetahuan tentang penyakit medis dan bedah. Konsultan psikiatri juga harus waspada terhadap efek dari penyakit dan obat pada perilaku, khususnya sumbangan dan pengaruhnya pada diagnosis dan terapi. Lebih lanjut, konsultan psikiatri harus mendukung pasien dan lebih sensitif terhadap efek pasien terhadap tenaga medis (Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire, 1998).
Meskipun fakta bahwa semua proses konsultasi psikiatri membutuhkan keahlian untuk mengatur rencana terapi, tim yang tersusun dari profesional kesehatan dengan keahlian yang saling melengkapi dapat juga digunakan. Pemimpin dari tim multidisiplin ini harus psikiater dengan pelatihan khusus CLP (Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire, 1998).
Tabel 19. Karakteristik dari konsultan psikiatri yang efektif
1. Berdiskusi dengan dokter yang merujuk, tenaga perawatan, dan tenaga lainnya (contoh, pekerja sosial) sebelum dan sesudah konsultasi. Dengan tujuan mendapatkan alasan untuk konsultasi. Dokter konsultan dapat dibingungkan dengan masalah pasien yang muncul sehingga tidak dapat merumuskan pertanyaan yang tepat.
2. Menetapkan status gawat-darurat, gawat, atau rutin.
3. Meninjau perencanaan dan data secara mendalam dan mengumpulkan informasi baru yang dibutuhkan.
4. Menyusun pemeriksaan status mental lengkap dan bagian yang berhubungan tentang riwayat dan pemeriksaan fisik.
5. Berdiskusi dengan keluarga dan sahabat pasien bila ada indikasi.
6. Membuat catatan singkat yang sesuai (contoh, tidak perlu membuat detail data yang telah tercatat dalam dalam lembar perencanaan).
7. Membuat diagnosis sementara berdasarkan tanda, gejala, hasil laboratorium, dan epidemiologi.
8. Merumuskan diagnosis banding diantara gangguan medis, neurologis, dan psikiatris.
9. Menyarankan bantuan diagnostik melalui pemeriksaan radiologik dan laboratorium.
10. Mempunyai pengetahuan untuk meresepkan obat psikotropik pada pasien dengan kondisi medis dan bedah dan waspada terhadap interaksi dengan pengobatan nonpsikotropik.
11. Membuat saran terapi : medikasi, ECT, psikoterapi, dan membatasi kemungkinan medis atau iotrogenik yang menimbulkan gejala.
12. Secara khusus (contoh, orientasi jangka pendek dan tujuan). Memberikan kemungkinan rencana dan antisipasi masalah potensial. Membuat kontak pribadi langsung – khususnya jika saran sangat penting dan berpotensi kontroversial. Menghormati wilayah mereka (tidak mengambil alih perawatan pasien), dan mengajar dengan melampirkan (menyebutkan referensi, menggunakan komunikasi personal).
13. Mengatur pendidikan dan psikoterapi yang tepat untuk pasien, bila ada indikasi.
14. Mengikuti perjalanan pasien selama seluruh perawatan di rumah sakit.
15. Membuat saran yang tepat setelah pasien selesai rawat inap termasuk perawatan pasien rawat jalan.
16. Mengikuti perkembangan bidang medis lain dan tidak memisahkan diri dari komunitas medis lainnya.
Sumber : Diadaptasi dari Elisabeth J. Shakin Kunkel, M.D. dan Troy L. Thompson II, M.D. : “The Process of Consultation and Organization of a Consultation-Liaison Psychiatry Service.” Textbook of Consultation-Liaison Psychiatry, American Psychiatric Press, 1996.
Di Amerika Serikat. Recommended Guidelines for C-L Psychiatric Training in Psychiatry Residency Programs mengkhususkan bahwa fakultas pelayanan C-L akan disertifikasi oleh American Board of Psychiatry and Neurology dan mempunyai keahlian khusus dalam CLP. Pelayanan CLP yang ideal mempunyai fakultas yang memberikan pelatihan berkelanjutan dalam CLP atau mereka yang meningkatkan pengalaman klinik (Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire, 1998).
2. Harapan Dari bagian Lain.
Dokter yang konsul berharap konsultan dapat membantu memastikan diagnosis, menghilangkan gejala, dan membantu tenaga medis dan bedah dalam menangani pasien, terkadang mengambil beberapa atau seluruh tanggung jawab kepada pasien. Prioritas dari pelayanan konsultasi bervariasi di antara pelayanan-pelayanan itu sendiri. Untuk semua dokter, aspek yang paling penting dari /CLP adalah berurusan dengan masalah penempatan pasien (contoh, dipindah kebagian perawatan psikiatri; dipindah ke bagian rawat jalan psikiatri).
B. PENDEKATAN KOMUNIKASI
1. Model Pemeriksaan
Banyak perdebatan tentang cara terbaik untuk melakukan pemeriksaan psikiatri pada pasien medis atau bedah. Sudah jelas bahwa teknik psikoanalitik, seperti asosiasi bebas yang panjang dan sunyi, jarang yang sesuai dengan pasien CLP. Sebagian besar pasien tidak berpengalaman dengan psikiatri atau psikoterapi, banyak masalah psikologis dalam konteks pengalaman pasien dan biasanya tidak membutuhkan konsulan psikiatri, dan beberapa mempunyai gangguan kognitif yang dapat mempengaruhi pendekatan ini. Di sisi lain, menjaga secara mutlak kerahasian dokter-pasien tidak mungkin untuk konsultasi psikiatri karena dokter utama pasien mengaharapkan jawaban terhadap konsultasinya. Proses ini harus dijelaskan kepada pasien (contoh, “saya akan memberikan kesimpulan dari penemuan saya dan merekomendasikannya kepada dokter anda”). Jika pasien ingin mengatakan kepada konsultan suatu “rahasia”, konsultan harus menjelaskan akan membagikan “rahasia” itu dengan dokter yang merawat pasien sehingga dapat meningkatkan pemahaman dokter tersebut terhadap sudut pandang pasien dan memberikan hasil yang aktual terhadap perbaikan perawatan pasien (Kunkel dan Thompson, 1996).
Variasi pertanyaan dengan pertanyaan terbuka dan tertutup berguna untuk mendapatkan data khusus yang dibutuhkan untuk riwayat dan pemeriksaan status mental; data ini kemudian memberikan dasar untuk pengembangan diagnosis dan rencana terapi. Formulasi psikodinamik dibuat dari data yang didapatkan dalam hal ini sering sangat berguna dalam mengerti masalah pasien. Formulasi ini harus diubah kedalam diskripsi yang bebas dari istilah dalam penulisan konsultasi dan diskusi dengan dokter dan tenaga medis yang berkonsultasi. Ini sering membantu untuk meningkatkan pemahaman tim terhadap pasien (Kunkel dan Thompson, 1996).
2. Alat Bantu Keterampilan.
Konsultan psikiatri menggunakan informasi dari yang didapatkan dari pengetahuannya, catatan rumah sakit dan riwayat dahulu, tenaga medis dan bedah, pemeriksaan pasien dan keluarganya, sumber referensi yang beragam. Catatan awal konsultasi menyimpulkan hasil pemeriksaan dari pasien dan peninjauan dari rekam medis (Tabel 2-4). Mahasiswa kedokteran dan residen sering mendapatkan bahwa belajar CLP lebih mudah jika diawali dengan penggunaan format penilaian standard. Pemeriksaan bed-side dapat meliputi menggambar jam atau bentuk lain, Mini-Mental State Exam, Taylor Equivalent Drawing, peralatan neuropsikologis. Biologis, psikoterapi, psikososial, dan intervensi sistem, semuanya digunakan dalam praktek CLP (Kunkel dan Thompson, 1996).
Tabel 20. Elemen dari catatan awal konsultasi
1. Tanggal dan jam kunjungan – tuliskan psikiatri di atasnya
2. Nama dari dokter yang mengajukan konsultasi dan alasan untuk permintaannya
3. Ringkasan dari riwayat medis pasien yang berkaitan dengan situasi psikiatri saat ini; jangan hanya mencontoh catatan medis dan daftar masalah
4. Gejala psikiatri saat ini (atau kejadian yang membawa kepada konsultan psikiatri)
5. Riwayat psikiatri – harus spesifik tentang pengobatan atau terapi lain yang memberikan efek terapi dan efek samping.
6. Riwayat psikiatri keluarga (termasuk penggunaan alkohol dan penyalahgunaan obat)-anggota keluarga dengan gangguan yang sama dengan pasien; respon pengobatan dan terapi lain dalam anggota keluarga
7. Riwayat sosial - riwayat pekerjaan dan pendidikan; riwayat seksual, obat-obatan, dan alkohol; riwayat hukum, dukungan sosial, pengaturan hidup sekarang
8. Pemeriksaan status mental lengkap – penampilan; perilaku, pembicaraan; afek/mood; proses pikir/bentuk pikir; isi pikiran (bunuh diri, dibunuh, waham, halusinasi); orientasi; ingatan, konsentrasi, perhatian, dan test kognisi lain; tilikan; pengambilan keputusan atau penilaian
9. Pengobatan saat ini – peninjauan catatan pengobatan rumah sakit sesuai perintah dokter
10. Test terbaru dan yang berhubungan – contoh, penelitian laboratorium, sinar x, CT scan, MMRI, EKG, EEG
11. Aspek yang berhubungan dengan pemeriksaan fisik – contoh, tanda-tanda vital, pemeriksaan neurologis
12. Kesan – menggunakan diagnosis DSM IV (American Psychiatric Association 1994) dan terminologi pemahaman yang tersedia; hindari istilah psikiatri dan formulasi psikodinamik
13. Rekomendasi – harus jelas dan ringkas; catat hanya pengobatan yang secara pasti akan diberikan; termasuk peringatan bunuh diri, penahanan, dan konsultasi lain, dll; rekomendasi pengobatan dibuat hanya oleh dokter
14. Tulis semua catatan konsultasi dan follow-up dengan bijaksana – tetap diingat bahwa catatan medis atau bedah sering dibaca oleh tenaga medis rumah sakit dan terkadang pasien dan keluarganya
15. Tunjukkan tanggal dari kunjungan follow-up selanjutnya dan rencanan frekuensi kunjungan
16. Tandai dan catat nama konsultan dan nomor telepon
Sumber : Diadaptasi dari Elisabeth J. Shakin Kunkel, M.D. dan Troy L. Thompson II, M.D. : “The Process of Consultation and Organization of a Consultation-Liaison Psychiatry Service.” Textbook of Consultation-Liaison Psychiatry, American Psychiatric Press, 1996.

3. Proses Konsultasi
Proses dari kegiatan CLP sering paralel denga proses yang dilakukan selama perjalanan psikoterapi. Informasi dan pola dari reaksi langsung selama kunjungan follow-up dan pandangan baru yang berkembang yang sering tidak ditemukan pada kunjungan awal. Ini merupakan salah satu alasan bahwa kunjungan follow-up diperintahkan pada semua konsultasi psikiatri yang baik (Kunkel dan Thompson, 1996). CLP dapat membutuhkan banyak waktu sebelum konsultan diterima dan dapat beradaptasi dengan praktisi dari tim medis (Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire, 1998).
Institusi harus mengikuti Recommended Guidelines for Consultation-Liaison Psychiatric Training in Psychiatry Residency Programs untuk pelayanan dan tenaga CLP. Dalam semua pelayanan medis, harus tersedia staff yang ahli untuk memberikan konsultasi psikiatri 24 jam/hari, sepanjang tahun. Dalam pelayanan di mana residen psikiatri memberikan konsultasi, staff fakultas harus dapat memberikan bimbingan 24 jam/hari (Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire, 1998).
Konsultasi psikiatri harus dilakukan oleh psikiater dengan keahlian dalam pelayanan medis dan terpercaya dan legal di dalam institusi di mana konsultasi dilakukan. Terapi dapat didelegasikan kepada profesi kesehatan mental lainnya dibawah pengawasan langsung dari psikiater konsulan. Konsultasi psikiatri meliputi awal konsultasi dan pemeriksaan follow-up (Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire, 1998).
Jika pasien dalam pengobatan psikiatri membutuhkan pengobatan dari bagian lain, untuk menjamin kelangsungan perawatan medis bila memungkinkan diberikan dalam suatu fasilitas yang sama. Dalam pelayanan yang ideal, lokasi antara perawatan medis dan psikiatri manjadi satu (Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire, 1998).
Pada pasien yang dirawat bersama, permintaan pemeriksaan atau test laboratorium dan pengobatan oleh dokter ahli yang merawat harus memastikan tidak terjadi kontra indikasi. Tidak diperkenankan adanya konflik. Sebagian besar psikiater CLP yakin bahwa hal ini menjadi suatu masalah (Kunkel dan Thompson, 1996).
Konsultan psikiatri harus mengikuti perjalanan pasien secara menyeluruh sampai meninggalkan rumah sakit. Pertama, penting untuk “sign-of” pada pasien dalam kaitannya dengan masalah transferen atau kontratransferen dan reaksi positif atau negatif untuk penyembuhan permanen dari gejala yang ada. Kedua, pasien yang mempunyai tanda dan gejala psikiatri mempunyai risiko untuk kekambuhan. Akhirnya, follow-up berkelanjutan membantu untuk mempertahankan kepercayaan tim medis atau bedah dan memperkuat bahwa CLP selalu tersedia dan siap membantu dalam situasi klinis apapun (Kunkel dan Thompson, 1996).
4. Praktek Kelompok
CLP dapat berfungsi sebagai bagian dari kelompok multidisiplin (contoh, pusat nyeri) atau dapat berbagi praktek klinis dengan CLP lainnya. Psikiater CLP harus tidak hanya memberikan konsultasi yang berguna tetapi juga siap untuk memberikan pelayanan penanganan kepada staff yang stress dan memberikan penerangan sebagai juru bicara kepada masyarakat untuk masalah psikiatri yang penting dan berkaitan (Kunkel dan Thompson, 1996).
5. CLP Dengan Lain
Menyediakan konsultasi yang baik kepada dokter lain hanyalah awal dari hubungan konsultasi yang mantap dan padu. Konsultan psikiatri harus dapat mengembangkan keahlian dan pengalaman dalam menyelesaikan masalah dalam pelayanan CLP. Bertujuan untuk memadukan pelayanan psikiatri dan pembelajaran psikiatri dalam pelayanan medis ataupun bedah setiap hari. Ini juga membuktikan kemampuan dan komitmen dari seorang konsulan psikiatri (Kunkel dan Thompson, 1996).
d. Kunci Untuk Pelayanan CLP Yang Mantap Dan Berhasil
CLP harus secara efektif menggunakan klinis, pendidikan, administrasi, badan pendidikan, pengetahuan, penelitian, dan keahlian untuk memantapkan dan memperluas pelayanan CLP. Prioritas secara relatif ditentukan sesuai dengan pelayanan CLP di tempat pelayanan (Kunkel dan Thompson, 1996).
Meningkatkan pengertian dokter lain terhadap komorbiditas gangguan psikiatri di dalam pelayanan mereka. Meningkatkan pengertian dokter lain terhadap peran CLP yang dapat membuat perewatan terhadap pasien lebih singkat, efektif, dan bersahabat (Kunkel dan Thompson, 1996).
Pendekatan lain untuk menjelaskan psikiatri liaison adalah fungsinya untuk mengajarkan konsep kesehatan mental tertentu pada dokter umum, yang bertemu dengan sebagian besar pasien dengan masalah kesehatan mental di Amerika Seriakat. Untuk mengetahui model pelatihan kesehatan mental yang tepat maka direkrut residen dari tiga spesialisasi-interna (7000 residen), dokter keluarga (4000 residen), dan dokter umum (1000 residen)- tiga kontrak riset diberikan National Institute of Mental Health (NIMH) kepada penulis senior. Strain et al (1985) dan Pincus et al (1983) mengulas literatur, memeriksa proposal NIMH, mewawancarai personel agen pembiayaan, dan melakukan kunjungan ke 35 lokasi program pelatihan residen baik di bagian interna, dokter umum, dokter keluarga yang didukung oleh NIMH dan Health Resources Services Administration (HRSA). Berdasarkan survei ini, kami akan menerangkan enam model pelatihan kesehatan mental untuk dokter non psikiatri (Strain et al, 1987)
1. Model konsultasi. Model ini merupakan pendekatan konsultasi medis yang standar berdasarkan metode kasus (misalnya, konsulen berinisiatif untuk konsultasi dan menerima hasilnya secara tidak formal, pendidikan struktur misalnya sesi didaktik, seminar, dan bimbingan).
2. Model liaison. Sebagai tambahan pada elemen model konsultasi, formalitas, struktur, olahraga pedagogik dirangkum untuk mengajarkan pengetahuan dasar dan skill. Guru psikiatri seringkali menjadi bagian dari unit dan tim medis atau bedah.
3. Model bridge. Guru psikiatri, berafiliasi dengan bagian psikiatri yang ditunjuk bagi salahsatu tempat pendidikan pelayaanan dasar (seringkali sebuah tempat pelatihan rawat jalan) untuk sebagian besar porsi dari waktunya; pelatihannya distruktur.
4. Model hybrid. Pelatihan dilakukan oleh seorang psikiater, seorang ahli ilmu perilaku (misal, psikolog, petugas sosial, atau sosiolog) yang merupakan bagian tim multidisipliner, dan fakultas pelayanan primer.
5. Model psikiatri yang otonom. Seorang psikiater dipekerjakan oleh kelompok pelayanan primer dan tidak memiliki hubungan primer dengan departemen psikiatri, atau pendidikan psikososial diberikan secara eksklusif oleh seorang ahli ilmu perilaku yang non psikiater (misal, psikolog, pekerja sosisl, atau sosiolog) yang tidak berafiliasi dengan departemen psikiatri.
6. Model pelatihan setelah lulus pendidikan spesialisasi. Dokter dilatih kesehatan mental selama 1 atau 2 tahun untuk mendapatkan keahlian baik dalam mendeteksi, diagnosis, dan mengelola gangguan kesehatan mental.
Beberapa metode pengajaran pengetahuan,skill, dan tingkah laku kesehatan mental dilaporkan. Interna merekrut model konsultasi psikiatri formal untuk 68% pelatihan kesehatan mental mereka, sebaliknya kedokteran keluarga menggunakan 30% dan kedokteran umum menggunakan 22,5%. Interna jarang menggunakan rotasi psikiatri tapi menggunakan rawat inapnya untuk 80% pelatihan kesehatan mentalnya. Residen interna meminta tiga atau empat konsultasi psikiatri tiap tahun dan menghabiskan waktu rata-rata 25 menit perkasus tiap berkonsultasi. Sehingga , akumulasi pelatihan kesehatan mental melalui model konsultasi psikiatri menghasilkan 3-4 jam instruksi selama kursus bagi residen interna yang bersangkutan untuk memulai konsultasi.
Lebih lanjut, interna yang menggunakan konsultasi untuk pendidikan, seperti dokter umum atau dokter keluarga yang berusaha untuk memenuhi tuntutan sosial budaya, menggunakan kemampuan komunikasi, menggunakan manajemen psikososial komplek atau farmakoterapi sederhana, mengevaluasi penampilan peserta pelatihan sebagai usaha pedagogik, atau membayar program pelatihan kesehatan mental yang telah diajarkan pada peserta. Tujuhpuluh satu persen dana program pelatihan kesehatan mental di bagian interna telah dibayar oleh bagian psikiatri, sedangkan 15% bagi dokter umum dan 1,6% bagi dokter keluarga. Secara keseluruhan metode konsultasi yang berhubungan dengan obat-obatan merupakan model yang paling lemah yang ditawarkan bagian psikiatri. Ketika model konsultasi digunakan di pelayanan primer dan kedokteran keluarga, hal tersebut membuat jalurnya lebih pendek karena spesialisasi ini awalnya mempercayakan pelatihan ini pada ahli ilmu perilaku non psikiater. Mereka memilih hubungan liaison dengan pengajar daripada dengan konsultan keliling yang tidak menetap. Model pengajaran ini akan meningkatkan keutamaan dengan datangnya reformasi pelayanan kesehatan. Dimana proyek yang mengutamakan kesehatan mental akan digunakan pada pelayanan primer.
Klasifikasi program yang lain dikemukakan oleh Greenhill (1977), yang dijelaskan menjadi lima variasi psikiatri liaison:
1. Basic liaison model. Model liaison dasar biasanya melibatkan psikiater dari departemen psikiatri yang ditunjuk bagi unit medis-bedah untuk memberikan pengajaran.
2. Critical care model. Model pelayanan kritis lebih memberikan penugasan petugas kesehatan mental bagi unit-unit pelayanan kritis daripada departemen klinis lainnya. Tujuannya adalah pelayanan pasien dan konsultasi staf. Psikiater berperan sebagai salah satu anggota tim unit tersebut. Pengajarannya mengkombinasikan model perilaku dan psikodinamik seperti model psikiatri biologi.
3. Biological model. Model biologi lebih menunjukkan variasi yang lebih jelas pada model pelayanan kritis yang mencakup ilmu saraf, psikofarmakologi, dan manajemen psikologi. Psikiater berperan sebagai salah satu anggota unit diagnosis-centered treatment (penatalaksanaan yang berpusat pada diagnosis) (misal, klinik dysphoria, pain center, klinik psikofarmakologi) dan melalui manipulasi psikiatri, psikologis, psikofarmakologisdan lingkungan, melayani sebagai salah satu anggota tim.
4. Millieu model. Model millieu menekankan pada aspek-aspek kelompok antara lain, proses kelompok pelayanan pasien, reaksi dan interaksi staf, teori interpersonal, kreasi lingkungan terapi di bagsal.
5. Integral model. Model integral muncul sebagai hasil tekanan sosial terhadap pelayanan medis. Model ini lebih mempercayakan pada pengelola rumah sakit daripada triase oleh dokter. Model-model program liaison tersebut tergantung pada konsultasi dengan pasien dan staf dan tergantung pada hubungan kerja antar dokter. Model ini tergantung, merupakan tambahan, meliputi pelayanan psikologis sebagai faktor integral yang mampu berfungsi secara terbuka bagi kebutuhan klinis dan administratif.
Hammer et al. (1985), di Northwestern University telah menggunakan model integral dari psikiatri liaison hingga menjadi bagian yang paling berkembang di departemen pelayanan manusia inovatif (Strain and Grossman 1975). Bergerak melampaui model konsultasi dan rujukan, Hammer dan koleganya mendirikan organisasi administratif untuk memberikan pelayanan biopsikososial rumah sakit pendidikan kontemporer. Model ini melakukan langkah evolusioner melampaui pendekatan tim multidisipliner dengan cara menkombinasikan disiplin ilmu pelayanan psikososial dibawah kendali pimpinan medi yang terpusat: psikiatri liaison konsultasi, pelayanan petugas sosial, pelayanan pastor, pelayanan di rumah, pelayanan pendukung, dan perwakilan pasien. Sehingga tim investigasi menyatakan bahwa ” tujuan jangka panjang organisasi ini adalah untuk memberikan pelayanan psikososial yang berharga efektif, ketika mengelola kontribusi yang unik dari masing-masing disiplin ilmu yang berpartisipasi” (Hammer et al, 1985, p.189).
Model psikiatri konsultasi liaison bagi pelayanan masyarakat yang terintegrasi memperbaiki keterasingan diantara disiplin ilmu kesehatan mental di lingkungan medis dan kelemahan struktur formal terintegrasi yang merupakan ciri khas model konsultasi tradisional.



















BAB VIII
KESIMPULAN
Dengan demikian, model biopsikososial merupakan suatu sistem pendekatan terintegrasi yang mendorong pemahaman menyeluruh mengenai penyakit. Pendekatan ini dapat kita lihat pada Consultation-Liaison Psychiatry (CLP), suatu perkembangan lebih lanjut dari psikiatri klinik yang merupakan subspesialisasi dalam psikiatri yang menginkorporasikan pelayanan klinis, pengajaran, dan penelitian pada perbatasan antara psikiatri dengan ilmu kedokteran medis/bedah.
Perlunya pemahaman secara menyeluruh terhadap upaya penatalaksanaan dan pelayanan kesehatan kepada pasien dari sudut ilmu kedokteran yang holistik dengan mengutamakan kualitas hidup pasien. Sehingga tercapainya hidup ”sehat” yang tidak hanya terbebas dari penyakit fisik namun juga sehat rohani, sosial dan spritual dapat dicapai.
Case finding atau skrining merupakan langkah awal dalam proses liaison psikiatri. Para dokter perlu pelatihan dan pendidikan praktis dalam diagnosis dan pengobatan klinis gangguan jiwa, terutama dalam lingkungan medis dan bedah. Edukasi dokter non psikiater dan tenaga kesehatan yang berkaitan mengenai masalah medis dan psikiatri yang berhubungan dengan penyakit pasien merupakan hal penting dalam proses case finding.
Terapi dalam CLP dapat disimpulkan sebagai integrasi dalam pengobatan dimana pasien sebagai pusat dalam manajemen penyakit mengunakan kolaborasi antar profesional dengan memperhatikan kompleksitas pasien secara sistem organik dan elemen psikososial dan kompleksitas jumlah disiplin ilmu dan tipe pengobatan yang terlibat. Kolaborasi antar profesional meliputi kolaborasi antar lembaga, kolaborasi antar tim kerja dari berbagai disiplin ilmu, tim kerja dari sesama disiplin ilmu.
Konsultasi psikiatri menggunakan informasi dari yang didapatkan dari pengetahuannya, catatan rumah sakit dan riwayat dahulu, tenaga medis dan bedah, pemeriksaan pasien dan keluarganya, sumber referensi yang beragam. Catatan awal konsultasi menyimpulkan hasil pemeriksaan dari pasien dan peninjauan dari rekam medis.
CLP sebagai salah satu upaya untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat secara holistik dan optimal harus diketahui, dimengerti, dihayati dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab sebagai insan kesehatan yang mempunyai tugas mulia. Untuk itu perlu mempelajarinya sejak sedini mungkin mulai jenjang awal pendidikan kesehatan sampai tingkat lanjutan.



















KEPUSTAKAAN

Aladjem AD, 2005, Consultation-Liaison Psychiatry in Comprehensive Textbook of Psychiatry, 8th edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
Archinard Marc, Dumont Patricia, De Tonnac Nicolas, : “Guidelines and Evaluation : Improve the Quality of Consultation-Liaison Psychiatry.” Psychosomatic 46:425-430, 2005.
Boutin-Foster C, Ferrando S.J, Charlson ME, 2003. The Cornell Psychiatric Screen : A Brief Psychiatric Scale Hospitalized Medical Patients, Psychosomatics; 44 : 382-387.
Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire : “The Academy of Psychosomatic Medicine Practice Guidelines fo Psychiatric Consultation in General Medical Setting.” Psychosomatic 39: S8-S30, 1998.
Elisabeth J. Shakin Kunkel, dan Troy L. Thompson II, : “The Process of Consultation and Organitization of a Consultation-Liaison Psychiatry Service.” Textbook of Consultation-Liaison Psychiatry, American Psychiatric Press, 1996.
Gitlin F. David, Levenson James. J, Lyketsos Constantine G, : “Psychosomatic Medicine : A New Psychiatry Subspeciality.” Academic Psychiatry 28:1, 2004.
James : “Consultation-Liaison Psychiatry.” Kaplan and Sadock Textbook Synopsys of Psychiatry, 2000.
James L. Levenson : “Consultation-Liaison Psychiatry Research: More Like a Ground Cover Than a Hedgerow.” Psychosomatic Medicine 59:563-564 (1997).

James R. Rundell, dan Thomas N. Wise: “Consultation-Liaison Psychiatry Research.” Textbook of Consultation-Liaison Psychiatry, American Psychiatric Press, 1996.

Kornfeld Donald S, : “Consultation-Liaison Psychiatry : Contributions to Medical Practice.” American Journal of Psychiatry 159:1964-1972, 2002.
Lipsitt Don R, : “Consultation Liaison Psychiatry and Psychosomatic Medicine : The Company They Keep.” Psychosomatic Medicine 63:896-909, 2001.
Mayfield D, et al, The CAGE Questionnaire : Validation of a New Alcoholism Screening Instrumen, Am J Psychiatry, 131 : 10, 1121-1123.
Pasnau Robert O: ”Consultation-Liaison Psychiatry at the Crossroads : In Search of a Definition for 1980s.” Hospital and Community Psychiatry 33:989-995, 1982.
Richard C. W. Hall, James R. Rundel, Ted W. Hirsch. : “Economic Issues in Consultation-Liaison Psychiatry.” Textbook of Consultation-Liaison Psychiatry, American Psychiatric Press, 1996.
Robert I. Simon : “Legal and Ethical Issues.” Textbook of Consultation-Liaison Psychiatry, American Psychiatric Press, 1996.
Spitzer RL, Williams JBW, Kroenke K, et al, 1994. Utility of a New Procedure for Diagnosing Mental Disorder in Primary Care : The PRIME-MD 1000 Study, JAMA, 272 : 1749-56.
Westphal JR, Freeman AM, 2000. Consultation-Liaison Psychiatry in Current Diagnosis and Therapy in Psychiatry, ……………….
Wibisono Sasanto : “Kuliah Consultation Liaison Psychiatry.” FK UI, 2001.
Wise MG, Strub RL, 1996. Mental Status Examination and Diagnosis in Textbook of Consultation-Liaison Psychiatry, American Psychiatric Press, Washington DC.
Wujoso Hari, 2007 : “Kuliah Etika dan Hukum Kedokteran” Program Pasca Sarjana Biomedik FK UNS, 2007.
Adson DE., Meller WH., Magraw RM., 1998. Potential Drug-Drug Interactions on a Tertiary-Care Hospital Consultation-LiaisonPsychiatry Service, Psychosomatics ; 39:360-365.
Berluchii G, Rizzolatti ,G, 1987. Speial Issue: Selective Visual Attention. Neuropsycologia 25: 1-145.
Benson D, Peterson LG., Bartay J, 1983. Neuropsychiatric Manisfestations of Antihypertensive Medications. Psychiatr Med I; 205-214.
Black DW.,Yates WR., Andreassen CW., 1988. Schizophrenia, Schizophreniform Disorder, and Delusional (Paranoid) Disorder, in the American Psychiatric Press Texbook of Psychiatry. Ed by Talbot JA, Hales RE, Yudofsky SC, Washington DC, American Psychiatric Press ; 357-402.
Bracha, HS.,Wolkowitz OM., Lohr JB.,1989. High Prevalence of Visual Hallucination In Research Subjects With Chronic Schizophrenia.Am J Psychiatry 146: 526-528.
Black FW., 1986. Gigit Repetition in Brain-Damaged Adult: Clinical Anf Theoretical Implications. J Clib Psychol 42;770-782.
Cutting J, 1980, Physical Illness and Psychosis. BMJ 136; 109-119.
De Renzi E, 1985, Disorder of Spatial Orientation, in Handbook of Clinical Neurology, Edited by Frederick JAM, Amsterdam pp 405-422.
Dirjen. Pelayanan Medik, 1993, Pedoman Penggolongan Diagnois Gangguan Jiwa di Indonesia III, cetakan pertama. Departemen Kesehatan RI.
Feher EP, Doody R, Pirozollo et al.1989. Mental Status Assessment of insight and Judgment. Clin Geriatr Med 5: 477-498.
Francis A, 1994, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 4 th ed. American Pub.Inc. Washington DC.
Folstein MF, Mc Hugh PR.,1975. Mini-Mental State; a Practical Method for Grading The Cognitive State of Patients for Clinician. J Psychiatr Res 12: 189-198.
Goodwin FK., Jamison KR., 1990. Manic Depressive Illness. New York, Oxford University Press.
Gold MS., Pottash AIC., Extein I, 1981. Hypothyroidism and Depression, Evidence From Thyroid Function Evaluation, JAMA 245; 1919-1922.
Handrinos D, McKenzie D, Smith GC.,1998. Timing of Referral to a Consultation-Liaison Psychiatry Unit Psychosomatics ; 39:311-317.
Jacobs JW, Bernhard MR.,Delgado A,et al.1977. Screening For Organic Mental Syndromes in Medically Ill.Ann Intern Med 86: 40-46.
Lishman WA., 1987. Organic Psychiatry, 2 nd edition.Oxford UK Blackwell,Scientific pp 78-125.
Lipowski ZJ, 1990. Delirium; Acute Convusional States. New York, Oxford University Press.
Magoun HW, 1963. The Waking Brain, Springfield IL, Charles C Thomas.
Mercan S, Kivanc, Altunay, 2006. Psychodermatology: A Collaboration Between Psychiatry and Dermatology, Turkish Journal Psychiatry 17(4): 305-313.
Parish RM., Robinson RG., Lipsey JR.,1990, The Impact of Post Stroke Depression on Recovery in Activities indaily Living Over a 2–Years Follow–Up. Arch Neurol 47; 785-789.
Rundell JR., Wise MG., 1989, Causes of Organic Mood Disorder, J Neuropsychiatry Clin Neurosci I; 398-400.
Reitan RM., 1984, Aphasia and Sensory-Perceptual Deficits in Adult, Tucson, AZ, Neuropsychology Press.
Strub RL.,Black FW.,1985, The Mental Status Examination In Neurology, 2nd Ed.Philadelphia, PA, FA Davis.
Smith GC, Clarke DM et al., 2000, Consultation-Liaison Psychiatristsf Management of Somatoform Disorders ,Psychosomatics 41:481-489.
Shaw RJ., Wamboldt M, et al.2006, Practice Patterns in Pediatric Consultation-Liaison Psychiatry, A National Survey ,Psychosomatics ; 47:43-49.
Wise MG.., Strub RL., 1993, Mental Status Examination and Diagnosis, The American Psychiatryc Press Texbook Of Consultation-Liaison Psychiatry 6; 67-84.
Westphal JR., Freeman AM., 1995 Consultation-Liaison Psychiatry. 14; 169-171.
Wise TN., Ramchandani D, 2004, The Changing Content of Psychosomatics: Reflection of theGrowth of Consultation-Liaison Psychiatry?.Psychosomatics 2004; 45:1-6.
Weinstein EA., Friedland RP., 1977, Hemi-Inattention and Hemisphrenic Specialization. Edvances Neurology Series Vol 18. New York, Raven.
Wise MG, Taylor SE., 1990, Anxiety and Mood Disorder in Medically Ill Patients, J Clin Psychiatry 51; 27-32.
Bronheim, Fulop, Kunkel, Muskin, Schindler, Yates, Shaw, Steiner, Stern, Stoudemire : “The Academy of Psychosomatic Medicine Practice Guidelines fo Psychiatric Consultation in General Medical Setting.” Psychosomatic 39: S8-S30, 1998.
Devor M, Rowbotham MC, Wiesenfeld-Hallin Z. Proceedings of the 9th World Congress on Pain, August 22–7, 1998, Vienna, Austria. Seattle (WA); IASP Press; 2000.
Elisabeth J. Shakin Kunkel, M.D. dan Troy L. Thompson II, M.D. : “The Process of Consultation and Organization of a Consultation-Liaison Psychiatry Service.” Textbook of Consultation-Liaison Psychiatry, American Psychiatric Press, 1996.
Frasure-Smith N. Depression and 18-month prognosis after myocardial infarction. Circulation 1995, 91:999–1005.
Hackett T, Cassem N : The Massachusets General Hospital Handbook of Psychiatry. St Lois,MO, Mosby, 1979.
Holland JC, Rowland JH (eds): Handbook of Psycho-oncology: Psychological Care of the Patient With Cancer. New York, Oxford University Press, 1989.
Kaplan HI, Saddock BJ: Pocket Handbook of clinical Psychiatry. Baltimore, MD, Williams and Wilkins, 1990.
Lautenbacher S, Spernal J, Schreiber W, Krieg JC. Relationship between clinical pain complaints and pain sensitivity in patients with depression and panic disorder. Psychosom Med 1999;61:822–7.
Mayou R, Hawton K. Psychiatric disorder in the general hospital. Brit J Psychiatry 1986;149:172–90.
Meyers CA: Neurocognitive dysfunction in cancer patients. Oncology 2000; 14:75–79.
Strain jj, Lyans js, Hammer js, et al: Cost Offset from off Psychiatryc consultation liaison Intervention with elderly hip fracture patients. Am j Psychiatry 148:1044-1049, 1991.
Strain JJ, Hammer JS, Fulop G. APM Task Force on psychosocial interventions in the general hospital setting. A review of cost-offset studies. Psychosomatics 1994;35:253–62.
Smith MY, Redd WH, Peyser C, Vogl D: Post-traumatic stress disorder in cancer: a review. Psychooncology 1999; 8:521–537.
Wibisono Sasanto, Prof, dr, DR, SpKJ, K. : “Kuliah Consultation Liaison Psychiatry.” FK UI, 2001.
Jachana, Lane, dan Gelenberg, :”Treatment.” Textbook of Consultation-Liaison Psychiatry, American Psychiatric Press, 1996.
Chrousos, G. P. 1995. “The hypothalamic–pituitary–adrenal axis and immune-mediated inflammation” . This article is being provided free of charge for use in Indonesia. Massachusetts Medical Society.
Smith D, Rohrberg. 2000. “Interactions Between Mental States, Physiology, and Immunity” A Dynamic Psychoneuroimmunologic Network The Harvard Brain Volume 7.
D'Souza R. 2007. “The importance of spirituality in medicine and its application to clinical practice” dalam Spirituality and Health MJA Volume 186 Number 10.
Malt U.F, 2006. ”What every C-L psychiatrist should know about psychopharmacology” Department of Psychosomatic and Neurobehavioural Medicine Rikshospitalet University Hospital NO-0027 Oslo, Norway E-mail: ulrik.fredrik.malt@rikshospitalet.no.
Söllner W. 2006. “Psychotherapy is the basic treatment“ Dept. of Psychosomatic Medicine and Psychotherapy General Hospital Nuremberg, EACLPP.
Smith G. 2006. “Effectiveness of integrated care: terminology and approach” School of Psychology, Psychiatry and Psychological Medicine Monash University Melbourne, Australia, EACLPP.